Kabut asap yang berasal dari kebakaran lahan gambut terus menyelimuti sejumlah daerah di Indonesia hingga ke negara-negara tetangga. Untuk mengatasinya, Presiden Joko Widodo telah menginstruksikan pencabutan izin konsesi perusahaan-perusahaan yang kedapatan membakar hutan dan lahan. Namun, hal krusial penyebab kebakaran yang luput dari perhatian ialah korupsi.
Pada September 2014, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Riau, Annas Maamun, setelah pria berusia 72 tahun itu menerima uang suap dari pengusaha sawit bernama Gulat Medali Emas Manurung. Kala itu, Gulat menjabat sebagai Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia cabang Riau.
Dengan uang tersebut, Gulat meminta agar Annas mengalih fungsikan kawasan hutan menjadi perkebunan sawit seluas 1.188 hektar di Kabupaten Sengingi dan 1.214 hektar di Kabupaten Rokan Hilir.
Terjerumusnya seorang kepala daerah di Riau akibat penerbitan izin pemanfaatan hutan bukan saja menimpa Annas.
Mantan Gubernur Riau, Rusli Zainal, dihukum 14 tahun penjara lantaran terbukti menyalahgunakan wewenang dalam penerbitan izin usaha pemanfaatan hutan.
Lahan gambut
Membuka lahan gambut yang memiliki ketebalan lebih dari tiga meter sejatinya ilegal, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah No 71 tahun 2014 tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut.
Kemudian melalui moratorium yang diberlakukan pada 2011 dan diperpanjang tahun ini, konsesi-konsesi baru tidak boleh diberikan pada hutan utama dan lahan gambut.
Salah satu penyebab mengapa lahan gambut—khususnya yang memiliki ketebalan lebih dari tiga meter—dilarang untuk dibuka untuk ditanami tanaman kebun, semisal sawit dan pohon akasia, ialah karena lahan tersebut rawan mengalami kebakaran.
Jika aturan itu tidak dihiraukan dan lahan gambut tetap dibakar, upaya memadamkannya menjadi teramat sulit. Itulah yang terjadi selama ini.
“Perusahaan-perusahaan mendapatkan lahan karena mereka menyuap pejabat-pejabat,” kata pegiat lingkungan asal Riau, Made Ali.
“Kabut asap menunjukkan dampak korupsi pada sektor kehutanan.”
Made Ali, ketua Jaringan Kerja Penyelamat Hutan Riau (Jikalahari), menggambarkan Annas Maamun sebagai diktator mini yang memberikan izin kehutanan kepada siapapun yang membayar. Jika ada yang menentang dan bersikap kritis, dia tak segan memberangusnya.
Korupsi Kehutanan
Awal tahun ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), memulai langkah yang belum pernah dilakukan sebelumnya, yaitu investigasi korupsi di sektor kehutanan.
“Penyimpangan pengelolaan sumber daya kita tidak hanya menyebabkan negara kehilangan banyak uang, tapi juga memiliki imbas sosial yang harus dibayar publik setiap tahun dengan menghirup asap beracun,” kata John Budi, Pelaksana tugas (Plt) Wakil Ketua KPK.
Sektor kehutanan menjadi sumber korupsi besar-besaran. Tatkala mantan presiden Suharto berkuasa, dia memberikan konsesi-konsesi kepada teman dan rekannya sebagai ganti sokongan politik yang mereka berikan.
Namun, saat kekuasaan selama satu dasawarsa terakhir turun dari pemerintahan pusat ke tingkat daerah, korupsi bukannya berhenti. Sebaliknya, menurut pengamat, korupsi menjadi lebih menyebar.
Herry Purnomo, peneliti lembaga Center for International Forestry Research (CIFOR), menyebutkan dalam laporannya bulan lalu bahwa kepala daerah mendapat uang suap dalam jumlah besar dari perusahaan-perusahaan perkebunan yang memerlukan izin usaha. Dia menemukan bahwa lahan kerap sengaja dibakar demi mengklaim kepemilikan.
“Banyak pihak mendapat untung besar dari kebakaran,” kata Purnomo.
Pada saat Jokowi mengunjungi Riau, November 2014 lalu, dia mengatakan, “Tiada solusi baru pada masalah ini karena semua orang memahami apa yang harus dilakukan. Ini soal apakah kita mau menyelesaikan masalah ini.”
Akan tetapi, Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Siti Nurbaya, mengatakan kepada BBC bahwa dia tidak bisa mengendalikan gubernur-gubernur.
“Saya menyadari kita perlu mendorong para gubernur untuk menjadi lebih waspada dan mengantisipasi, tapi itu tidak mudah. Ada masalah dengan koordinasi,” katanya
Peta konsesi
Ada pula masalah dengan izin penggunaan lahan yang tumpang tindih. Di Riau, misalnya, sulit untuk mengetahui secara persis letak lahan konsesi satu perusahaan dengan yang lain. Akibatnya, batas-batas hutan lindung menjadi tidak jelas.
“Jika Presiden ingin menghentikan kebakaran hutan dan lahan, pemerintahannya harus menerbitkan peta konsesi,” sebut organisasi Greenpeace Indonesia dalam laporannya bulan lalu.
Pengalaman M Nur, penduduk Desa Sempung, Provinsi Riau, membuktikan mengapa pembuatan peta konsesi ialah keperluan mendesak. Suatu hari, pria berusia 60 tahun yang sehari-hari memanen kayu rotan dari hutan gambut dekat rumahnya itu menyaksikan hutan di sekeliling rumahnya ditebang oleh perusahaan kertas. Kejadian itu berlangsung tiba-tiba, tanpa peringatan sedikit pun.
“Saya tidak tahu banyak. Namun, dari yang saya lihat ialah jika perusahaan diberikan satu inci, mereka akan ambil dua inci. Itulah yang terjadi sampai semuanya nyaris habis,” ujarnya.
“Saya merasa sedih. Ke mana hewan-hewan akan pergi? Lalu bagaimana nasib anak cucu kita? Dengan situasi yang terjadi saat ini, mereka tidak akan menerima apa-apa.”