Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum lama ini merampungkan sejumlah audit terhadap dugaan terjadinya penyimpangan atau penyalahgunaan perijinan perambahan hutan di sejumlah daerah. Hasilnya cukup mengejutkan. Pada tahun 2007, Indonesia sempat dimasukkan ke dalam catatan rekor Guinnes tentang negara yang paling cepat melakukan perusakan hutan. Angka rekor yang disebutkan jauh lebih cepat daripada kerusakan hutan tropis di Brasil. Siapakah mereka yang terindikasi melakukan kejahatan lingkungan di Indonesia?
Memahami Sistem
Perijinan merupakan bagian dari elemen birokrasi yang termasuk rawan dilakukan penyalahgunaan atau rawan akan tindak pidana korupsi. Salah satu di antaranya kasus suap di Kabupaten Buol yang melibatkan Bupati Buol dan salah satu pengusaha nasional, terkait dengan pemberian ijin untuk alih fungsi lahan. Bentuk perijinan yang berlapis biasanya lebih rawan terhadap penyalahgunaan, terutama bentuk perijinan yang melibatkan kepentingan atau kewenangan di pemerintah pusat dan daerah. Seperti diketahui, birokrasi atas pemberian perijian di Indonesia selama ini dikenal cukup rumit dan berlapis. Salah satu di antara bentuk perijinan yang cukup rawan terhadap tindak pidana korupsi adalah perijinan atas alih fungsi lahan hutan.
Alih fungsi lahan selama ini biasanya paling banyak diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan perkebunan dan penambangan. Paska reformasi, prosedur perijinan untuk alih fungsi lahan lebih rumit ketimbang masa sentralistik. Pada orde sentralistik (sebelum tahun 2000), pengajuan, pemrosesan, dan pemberian ijin sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pihak pemerintah daerah (pemda) melalui pemerintah di tingkat propinsi (pemprop) hanya akan menindaklanjuti pelaksanaan yang telah disetujui oleh pemerintah pusat. Setelah tahun 2000 atau tepatnya setelah pelaksanaan desentralisasi di tahun 2001, mekanisme pengajuan dan pemberian ijin akan melewati dua pintu, yaitu pemberian ijin oleh pihak pemerintah daerah dan pemberian ijin dari pihak pemerintah pusat. Kewenangan sepenuhnya akan menjadi milik pemda setelah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Ini berarti, pelaksanaan alih fungsi lahan untuk perkebunan maupun pertambangan baru akan terwujud apabila telah mengantongi pengesahan dan persetujuan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Terkait dengan perijinan alih fungsi lahan untuk perkebunan akan berurusan dengan pihak Kementrian Kehutanan RI di tingkat Dirjen Kehutanan dan Perkebunan dan Kementrian Pertanian RI. Untuk alih fungsi hutan bagi kegiatan penambangan akan berurusan dengan pihak Kemenhut RI dan Kementrian ESDM. Ini masih belum selesai sampai di situ, karena untuk bisa masuk ke pemerintah daerah harus bisa menembus birokrasi di Kementrian Dalam Negeri. Sekalipun telah mengantongi perijinan dari Kemenhut RI, tetapi belum tentu bisa langsung masuk ke daerah apabila tidak mendapatkan 'restu' dari Kemendagri RI. “Lampu hijau” dari pihak pemda pun tidak akan berarti apa-apa apabila tidak mendapatkan mendapatkan persetujuan yang memadai dari pihak pemerintah pusat. Sisi positifnya dari bentuk birokrasi semacam ini seharusnya akan mengurangi minat atau upaya untuk merusak lingkungan.
Sumber: Forest Watch Indonesia (FWI)Memahami Sistem
Perijinan merupakan bagian dari elemen birokrasi yang termasuk rawan dilakukan penyalahgunaan atau rawan akan tindak pidana korupsi. Salah satu di antaranya kasus suap di Kabupaten Buol yang melibatkan Bupati Buol dan salah satu pengusaha nasional, terkait dengan pemberian ijin untuk alih fungsi lahan. Bentuk perijinan yang berlapis biasanya lebih rawan terhadap penyalahgunaan, terutama bentuk perijinan yang melibatkan kepentingan atau kewenangan di pemerintah pusat dan daerah. Seperti diketahui, birokrasi atas pemberian perijian di Indonesia selama ini dikenal cukup rumit dan berlapis. Salah satu di antara bentuk perijinan yang cukup rawan terhadap tindak pidana korupsi adalah perijinan atas alih fungsi lahan hutan.
Alih fungsi lahan selama ini biasanya paling banyak diperuntukkan bagi pelaksanaan kegiatan perkebunan dan penambangan. Paska reformasi, prosedur perijinan untuk alih fungsi lahan lebih rumit ketimbang masa sentralistik. Pada orde sentralistik (sebelum tahun 2000), pengajuan, pemrosesan, dan pemberian ijin sepenuhnya menjadi kewenangan pemerintah pusat. Pihak pemerintah daerah (pemda) melalui pemerintah di tingkat propinsi (pemprop) hanya akan menindaklanjuti pelaksanaan yang telah disetujui oleh pemerintah pusat. Setelah tahun 2000 atau tepatnya setelah pelaksanaan desentralisasi di tahun 2001, mekanisme pengajuan dan pemberian ijin akan melewati dua pintu, yaitu pemberian ijin oleh pihak pemerintah daerah dan pemberian ijin dari pihak pemerintah pusat. Kewenangan sepenuhnya akan menjadi milik pemda setelah mendapatkan persetujuan dari pemerintah pusat. Ini berarti, pelaksanaan alih fungsi lahan untuk perkebunan maupun pertambangan baru akan terwujud apabila telah mengantongi pengesahan dan persetujuan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Terkait dengan perijinan alih fungsi lahan untuk perkebunan akan berurusan dengan pihak Kementrian Kehutanan RI di tingkat Dirjen Kehutanan dan Perkebunan dan Kementrian Pertanian RI. Untuk alih fungsi hutan bagi kegiatan penambangan akan berurusan dengan pihak Kemenhut RI dan Kementrian ESDM. Ini masih belum selesai sampai di situ, karena untuk bisa masuk ke pemerintah daerah harus bisa menembus birokrasi di Kementrian Dalam Negeri. Sekalipun telah mengantongi perijinan dari Kemenhut RI, tetapi belum tentu bisa langsung masuk ke daerah apabila tidak mendapatkan 'restu' dari Kemendagri RI. “Lampu hijau” dari pihak pemda pun tidak akan berarti apa-apa apabila tidak mendapatkan mendapatkan persetujuan yang memadai dari pihak pemerintah pusat. Sisi positifnya dari bentuk birokrasi semacam ini seharusnya akan mengurangi minat atau upaya untuk merusak lingkungan.
Cukup rumit bukan? Tetapi sebuah fakta yang sulit dibantah, Indonesia pernah tercatat sebagai negara perusak hutan tercepat di dunia. Berita tersebut sempat menjadi perbincangan hangat, setelah Guiness Book of Record mencatatkan indonesia ke dalam buku rekor negara perusak hutan tercepat di dunia. Guiness tidak begitu saja mengemukakan data dan fakta. Sebelumnya, lembaga pangan dunia, FAO melaporkan tingkat deforestasi (penghancuran hutan tropis) terbesar di dunia terjadi di Indonesia selama periode dari tahun 2000-2005 (Kompas Cetak, Jumat, 4 Mei 2007). Selama periode tersebut, FAO mencatatkan terjadinya kehancuran hutan tropis (tropical rain forest) sebanyak 1,871 juta hektar setiap tahunnya. Angka tersebut jauh tinggi dibandingkan periode sebelumnya antara tahun 1985-1997 yang mencapai 1,7 hektar setiap tahun. Padahal, paska reformasi, birokrasi untuk alih fungsi lahan bisa dikatakan lebih rumit dibandingkan pada masa masih berbentuk sentralistik.
Sejumlah Temuan KPK
Pada tanggal 27 Februari 2013, KPK melayangkan surat resmi ke Presiden Yudhoyono yang isinya menyoroti kasus perijinan lahan hutan (DetikNews, Rabu, 27 Februari 2013, 14.50). Seperti yang dikutip dari Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas di Gedung DPR, "Temuan kami ada sekitar 150 juta hektar lahan di Indonesia luasnya. Dari 150 juta hektar itu baru 11% yang sudah clean and clear artinya peruntukannya sesuai dengan aturan yang ada". Dalam surat resmi tersebut disampaikan pula tentang indikasi terjadinya penyalahgunaan perijinan, mulai dari prosedur pengajuan, pemrosesan, hingga pemberian ijin. Tidak disebutkan perijinan pengelolaan hutan tersebut berada di kawasan mana, tetapi indikasi paling kuat terjadi di wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Kasus yang paling banyak mendapatkan sorotan publik di antaranya terjadi di Sumatera dan Kalimantan, karena di dua wilayah tersebut yang selama ini memiliki luas hutan tropis terbesar. Sayangnya, KPK tidak memberikan rekomendasi atas penindakan hukum, melainkan hanya meminta presiden untuk memanggil menteri-menterinya.
Sumber: The Jakarta Post
Tanggal 11 Maret 2013, hasil dari tindak lanjut surat resmi KPK berujung pada penandatanganan Nota Kesepakatan (memorandum of agreement) Rencana Aksi Bersama di sektor perbaikan tata kelola hutan dan percepatan pengukuhan kawasan hutan (Berita KPK, Rabu, 13 Maret 2013, 14.46). Nota kesepakatan tersebut ditandatangani oleh 12 kementrian/lembaga di Istana Negara, hari Senin, 11 Maret 2013. Penandatanganan disaksikan oleh Presiden Yudhoyono, Wapres Budiono, Ketua KPK Abraham Samad, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan Busyro Muqoddas, dan Kepala UKP4 Kuntoro Mangunsubroto. Ruang lingkup Nota Kesepakatan tersebut meliputi harmonisasi kebijakan tata kelola hutan. Perinciannya meliputi pula perbaikan proses perijinan, termasuk perijinan yang diterbitkan oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Masuknya KPK ke dalam pengawasan pengelolaan hutan disambut positif oleh pihak Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) (HarianOrbit.Com, Jumat, 15 Maret 2013). Menurut Direktur Eksekutif Walhi Sumatera Utara, masuknya KPK ke ranah pengelolaan hutan akan membuka peluang untuk mengendus lebih banyak 'aroma busuk' di sektor kehutanan yang selama ini dikenal sarat dengan tindak pidana korupsi, termasuk bentuk penyalahgunaan wewenang dan mafia kehutanan yang melibatkan jaringan kekuasaan dari pusat hingga ke daerah.
Setelah berselang satu bulan, Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Busyro Muqoddas mengeluarkan pernyataan tentang keterlibatan partai politik dalam tindak perusakan lingkungan dan hutan (Kompas Nasional, Senin, 22 April 2013, 22.00). Hutan memiliki kekayaan di atasnya, seperti kayu, flora, dan fauna, serta di bawahnya seperti bahan tambang. Inilah yang kemudian menjadi sasaran untuk dilakukan sejumlah tindak pidana korupsi berupa penyimpangan kewenangan, praktik penipuan, penggelapan, dan lain-lain. KPK menyinggung pula tentang unsur pemilihan kepala daerah (pilkada) yang disinyalir memanfaatkan peluang untuk menguras nilai kekayaan hutan. Ini berarti pula berindikasi melibatkan sejumlah partai politik yang turut atau terlibat ke dalam proses pilkada hingga setelah pemenangannya. Dikutip oleh pernyataan Busyro Muqoddas, "Kekayaan hutan itu bak ATM bagi partai politik (Parpol). Konsesi hutan dan izin usaha pertambangan misalnya, diobral kepada perusahaan tambang dan perkebunan. Dampak negatifnya nanti masyarakat dan negara yang menanggung”. Busyro menambahkan, polemik kehutanan yang terjadi di Aceh juga terjadi di wilayah lain. Pasalnya, banyak pemerintah daerah yang tidak mengerti arti penting hutan bagi masa depan bangsa. Perlu dipertanyakan kembali, apakah memang benar kepala daerah tersebut tidak mengerti ataukah hanya sekedar pura-pura tidak mengerti? Busyro Muqoddas tidak menyebutkan parpol-parpol yang dimaksudkan telah menjadikan kekayaan hutan sebagai sumber mesin uang.
Melalui Wakil Ketua KPK Bidang Pencegahan, Busyro Muqoddas melaporkan pula tentang temuan indikasi keterlibatan 12 kementrian dan lembaga atas praktik illegal logging (Detik News, Selasa, 23 April 2013, 02.20). Busyro Muqoddas mengutarakan permasalahan hutan bukan hanya merupakan persoalan kriminal murni, sebab ada afiliasi dengan berbagai partai politik. Mereka seringkali disebut oknum, namun melakukannya secara berjamaah. Dikutip secara langsung, "Kerusakan hutan terjadi karena adanya pembiaran dari pemerintah, banyak hutan yang digunakan untuk bisnis yang tidak transparan". Sayangnya, dalam pernyataannya tersebut, Busyro Muqoddas tidak memberikan detail, mana saja Kementrian dan Lembaga yang terlibat dalam praktik illegal logging. Busyro hanya menyebutkan, “"Kajian KPK tentang korupsi menemukan setidaknya ada 12 Kementerian/lembaga negara yang dilibatkan pada praktek illegal logging dan tambang liar," ujar Wakil Ketua KPK, Busyro Muqoddas dalam seminar publik yang digelar dalam rangka memperingati Hari Bumi Sedunia.
Sumber: MetroTV News
Masih menimpali pernyataan Busyro Muqoddas, dari pihak Indonesia Corruption Watch (ICW) melalui Peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan, Donald Fariz. Disebutkan oleh Fariz, "Banyak kegiatan illegal logging yang justru dibeking oleh aparat keamanan. Menurut saya, peluang korupsi pada RTRW (Rencana Tata Ruang dan Wilayah) Aceh yang sedang dibahas sangat memungkinkan”. Pertanyaannya, siapakah yang dimaksud aparat keamanan yang menjadi beking praktik illegal logging?
Pihak Yang Terlibat Dalam Kejahatan Lingkungan
Tindak perusakan memiliki dua makna yang berbeda, terlepas apapun motif dan tujuannya. Perusakan lingkungan mungkin harus dilakukan demi sesuatu kebutuhan yang tidak bisa ditunda atau tidak memiliki alternatif pemenuhannya. Contohnya seperti keperluan perluasan lahan pemukiman, pembukaan lahan untuk sektor pertanian pangan, atau untuk memenuhi kebutuhan industri daam bentuk perkebunan maupun pertambangan. Agar tidak menjadi benturan atau konflik horisontal, dibuatlah ketentuan atau peraturan yang disebut Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW). Tujuannya tidak lain untuk menciptakan keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan ekonomi dan kepentingan untuk menjaga kelestarian lingkungan. Tetapi ada pula perusakan lingkungan yang semestinya bisa dihindarkan, tetapi dipaksakan untuk kepentingan tertentu dan tujuan jangka pendek semata. Motif semacam ini biasanya lebih sarat dengan indikasi pelanggaran atas ketentuan yang berlaku, terutama penyalahgunaan wewenang. Mereka dengan motif kedua inilah yang lebih layak disebut melakukan kejahatan lingkungan. Siapakah mereka?
KPK menyinggung tentang keterlibatan 12 kementrian dan lembaga negara dalam praktik illegal logging. Ini berarti para pelakunya mengarah pada kepentingan pemerintah pusat. Mereka adalah pihak-pihak yang berpartisipasi ke dalam proses atau prosedur perijinan, terkait dengan praktik ekonomi yang menyebabkan terjadinya deforestasi, termasuk praktik illegal logging. Alih fungsi lahan hutan tropis pada akhirnya akan diikuti dengan kepentingan untuk mengalokasikan hutan-hutan yang telah ditebang untuk dijual secara ilegal. Ini masih berkaitan dengan hulu kekuasaan di pemerintahan pusat pada kementrian dan lembaga negara. Disebutkan pula, kerusakan hutan tidak lain dilandasi oleh motif untuk menguras kekayaan alam di dalamnya yang berada di atas dan di bawah. Dari sini bisa diketahui pihak-pihak di kementrian dan lembaga yang terlibat adalah sebagai berikut.
1. Kementrian Kehutanan RI
Kementrian Kehutanan RI besarta instansi-instansi di bawahnya menjadi hulu dari segala hulu penyebab terjadinya kerusakan hutan. Apapun tujuan dari penggunaan atas alih lahan hutan nantinya pula harus berhadapan dengan birokrasi di Kementrian Kehutanan RI. Pelaksanaan RTRW itu sendiri berada di dalam koordinasi langsung dan melibatkan unsur-unsur di dalam Kementrian Kehutanan RI, sebelum nantinya akan berurusan dengan pemerintah daerah.
2. Kementrian Pertanian RI
Sebagian besar dari kegiatan alih fungsi lahan hutan diperuntukkan bagi aktivitas perkebunan. Mayoritas di antaranya merupakan bentuk perkebunan tanaman industri, seperti kelapa sawit dan jenis tanaman perkebunan lainnya. Aktivitas perkebunan tersebut harus mendapatkan persetujuan dari pihak Kementrian Pertanian RI, karena masih masuk ke dalam batas kewenangan kebijakannya. Tetapi Kementrian Pertanian RI tidak mengurusi masalah perijinan untuk hutan tanaman industri yang selama ini diberikan kewenangannya ke Kementrian Kehutanan.
3. Kementrian ESDM
Selain dipergunakan untuk aktivitas di bidang perkebunan, fungsi alih lahan dipergunakan pula untuk aktivitas di bidang pertambangan. Beberapa di antaranya yang cukup marak dilakukan seperti pertambangan batu bara, pertambangan jenis logam dan mineral lain, dan kegiatan eksplorasi di bidang perminyakan dan gas. Kementrian ESDM bertanggungjawab dalam memberikan perijinan untuk pengelolaannya di daerah, sebelum nantinya diserahkan ke pihak pemerintah daerah.
4. Kementrian Dalam Negeri
Sehubungan keterlibatan birokrasi dengan pemerintahan daerah mesti harus diketahui prosedurnya oleh pihak Kementrian Dalam Negeri. Konflik kepentingan dalam pelaksanaan RTRW yang melibatkan pemerintahan daerah ini pun nantinya akan berujung pada keterlibatan Kemendagri. Sekalipun tidak terlibat langsung di dalam aktivitas yang berkaitan dengan pengelolaan hutan, tetapi Kemendagri berkepentingan dalam melakukan pengawasan, terutama apabila diketahui terjadi penyalahgunaan wewenang oleh pihak pemerintah daerah.
5. Kementrian Lingkungan Hidup
Sekalipun jarang disebutkan dalam sejumlah kasus perijinan alih fungsi lahan, pihak Kemenlh memiliki kewenangan untuk mengeluarkan status kelayakan lingkungan atas pengelolaan hutan. Apabila diketahui pengelolaan hutan atau alih fungsi hutan menyebabkan kerusakan lingkungan secara permanan ataupun jangka panjang, secara otomatis akan berdampak pada pemenuhan syarat perijinan di kementrian lainnya. Kemenlh pula telah mengatur sedemikian rupa atas kegiatan pemantauan dan kemungkinan dari dampak kerusakan lingkungan, termasuk adanya kemungkinan praktik illegal logging.
6. Kementrian Perindustrian
Mengingat keseluruhan aktivitas alih fungsi lahan akan diperuntukkan bagi kegiatan perindustrian, itu berarti harus mendapatkan lampu hijau dari pihak Kemenperin. Kewenangannya terletak pada pemberian status usaha dan kelayakan usaha yang nantinya akan menjadi poin persyaratan sebelum diajukan ke kementrian lain, terutama Kemenhut ataupun Kementan. Kemenperin tidak akan memberikan status kelayakan atas badan usaha yang reputasinya diragukan atau masuk ke dalam daftar hitam investasi.
7. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM)
BKPM merupakan lembaga pemerintahan non departemen yang berwenang melakukan pengaturan dan pengelolaan alokasi penanaman modal di Indonesia. Kegiatan usaha seperti perkebunan, penambangan, ataupun kegiatan hutan tanaman industri masuk ke dalam kategori kegiatan investasi atau kegiatan penanaman modal. Perlu dilakukan pengaturan agar terjadi pemerataan dan sekaligus mengurangi terjadinya ketimpangan modal antar daerah. BKPM berhak memberikan sinyal negatif yang akan memasukkan investor atau pelaku usaha ke dalam daftar hitam investasi.
8. Kementrian Perdagangan
Peran Kemendag sebenarnya tidak secara langsung terlibat ke dalam RTRW. Sekalipun demikian, siapapun investor dan bentuk aktivitas investasinya yang terkait dengan pengelolaan hutan dan alih fungsi lahan hutan nantinya akan berurusan dengan pihak Kemendag. Dalam hal ini, pihak Kemendag tidak akan mengeluarkan ijin perdagangan ke lembaga usaha yang diketahui mengelola komoditi yang dianggap berpotensi menyebabkan terjadi dampak negatif terhadap perekonomian. Salah satu di antaranya berupa aktivitas perdagangan yang dilarang atau masuk ke dalam daftar hitam perdagangan internasional.
9. Kementrian Ekonomi
Inilah yang sesungguhnya menjadi hulu dari segala kebijakan yang menyebabkan terjadinya deforestasi di Indonesia. Keseluruhan kebijakan yang dikeluarkan oleh masing-masing kementrian dan lembaga akan dikoordinasikan langsung oleh pihak Kementrian Ekonomi. Dalam hal ini, Kemenko mendapatkan masukan dan pertimbangan dari Kementrian Perencanaan Pembangunan Nasional, terkait dengan pelaksanaan RTRW ataupun bentuk alih fungsi lahan hutan.
10. Kepolisian Republik Indonesia dan/ TNI
Dalam pernyataannya secara terpisah, pihak ICW menyebutkan tentang keterlibatan dari aparat keamanan terhadap aktivitas illegal logging. Tidak hanya itu, aparat atau alat negara pula terindikasi kuat menjadi beking dari setiap aktivitas yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan di Indonesia. Ada dua lembaga negara yang dimaksudkan sebagai aparat keamanan, yaitu Kepolisian Republik Indonesi (Polri) dan Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Dari 10 kementrian dan lembaga negara di atas, masih ada dua lagi yang belum bisa saya tuliskan. Pihak KPK tidak memberikan rincian tentang siapa yang dimaksudkan 12 kementrian dan lembaga negara yang terlibat praktik illegal logging. Ulasan yang saya sampaikan di atas hanya berdasarkan perkiraan dengan melihat tugas dan kewenangan dari masing-masing kementrian dan lembaga negara yang ada saat ini.
Selain keterlibatan dari perangkat di pemerintahan, kejahatan lingkungan atas kerusakan hutan tropis di Indonesia melibatkan sejumlah pengusaha. Pada posting terdahulu, saya pernah menuliskan tetang nama-nama orang terkaya di Indonesia versi Majalah Forbes tahun 2012 (klik di sini). Saya menuliskan di dalamnya didominasi oleh para pengusaha perkebunan kelapa sawit dan pertambangan. Dalam kurun waktu yang tidak terlalu lama, mereka mampu membesarkan perusahaannya, bahkan menjadi perusahaan kelas dunia. Sekalipun demikian, harga yang harus dibayarkan sesungguhnya teramat mahal. Demi sebuah kemakmuran segelintir orang dan waktu yang sesaat harus mengorbankan jutaan hektar lahan hutan tropis. Fakta yang tidak bisa terbantah, bahwa sepanjang Indonesia mengalami kerusakan hutan tropis yang cukup parah, Indonesia belum mampu pula menciptakan angka pertumbuhan dua digit. Tidak sedikit di antaranya yang berorientasi pada ekspor. Tetapi fakta yang tidak pula bisa dibantah apabila defisit transaksi berjalan (current account) tergolong cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan periode sebelum masuknya orde reformasi. Para pengusaha yang sekaligus memberikan andil untuk masuknya praktik penyuapan atau indikasi terjadinya tindak pidana korupsi dari pusat hingga ke daerah.
Satu lagi aparatur pemerintahan yang turut andil dalam menciptakan kerusakan lingkungan. Mereka adalah keseluruhan elemen di pemerintahan daerah, terutama kepala daerah dan lembaga legislatif di daerah. KPK telah merilis laporannya tentang keterlibatan kepala daerah terhadap kekisruhan perijinan fungsi alih lahan hutan di daerah. Setelah pelaksanaan otonomi daerah, kewenangan untuk pemberian ijin dalam alih fungsi lahan hutan berada pada pihak pemerintah daerah (bupati/kota). Sekalipun pihak pengusaha telah mengantongi sejumlah ijin dari pemerintah pusat, tetapi tidak akan bisa terlaksana apabila pihak pemerintah daerah tidak memberikan perijinan. Kekisruhan perijinan yang disebutkan menjadi tumpang tindih dan berpotensi menyebabkan konflik RTRW tidak lain bersumber pula dari adanya kewenangan pemerintah daerah dalam memberikan ijin. Dalam hal ini, perijinan di daerah adalah pintu birokrasi terakhir yang nantinya akan membuka peluang terjadinya tindak kejahatan lingkungan.
Partai politik (parpol) sangat berkaitan erat dengan adanya praktik kejahatan lingkungan di sejumlah daerah. Keterlibatan parpol ini pun sempat disinggung oleh KPK yang menyebutkan hutan menjadi ATM (mesin uang) bagi parpol melalui pemilihan kepala daerah (pilkada). Parpol pula yang nantinya akan memberikan garis kebijakan maupun tindakan bagi kader-kadernya yang telah ditempatkan di pemerintahan, dari pusat hingga ke daerah, termasuk pula kadernya yang ditempatkan di badan legislatif. Sebenarnya cukup sederhana penjelasannya, karena sistem kekuasaan yang kental berlaku di negeri ini masih mengadopsi model oligarki kekuaaan kaki tiga yang pernah dikemukakan oleh George Aditjondro. Para pengusaha merupakan rekanan terdekat partai politik yang sekaligus menjadi basis mesin uang atau sumber pemasukan bagi partai politik. Melalui pendekatan dan proses politik, pihak parpol akan merekomendasikan pengusaha-pengusaha yang berafiliasi dengannya untuk masuk ke dalam proyek di daerah, terutama dalam hal ini yang berkaitan dengan alih fungsi lahan untuk perkebunan maupun pertambangan. Jika terjadi proses tender, biasanya yang dimenangkan adalah pengusaha yang berafiliasi kuat dengan parpol yang memiliki kekuatan politik paling besar.
Sumber: WWF Indonesia
Sebagai penutup, saya penulis hanya mengingatkan, bahwa kerusakan hutan tropis saat ini hampir tidak mungkin untuk dikembalikan ke kondisi semula. Butuh waktu yang cukup lama, bahkan hingga ratusan tahun lamanya. Anak dan cucu kita kelak tidak akan lagi bisa melihat kekayaan keanekaragaman hayati yang dianugerahkan ke mereka. Reboisasi ataupun penghijauan bukanlah solusi yang efektif untuk menanggulangi kerusakan lingkungan. Satu-satunya cara adalah dengan menghentikan keseluruhan sistem yang menjadi penyebab terjadinya kerusakan lingkungan. Salah satu di antaranya adalah dengan merevisi dan meninjau kembali pelaksanaan otonomi daerah. Bagi masyarakat, hendaknya agar tetap kritis terhadap pelaksanaan kegiatan pembangunan di daerahnya masing-masing, terutama di wilayah yang masih memiliki hutan tropis.