Ketika
terbangun di pagi hari, hal yang aku bayangkan adalah aktifitas yang
menyebalkan yang akan kualami. Kuliah dari pukul 09.00 WIB hingga pukul
17.30 WIB, pulang naik angkot yang ngetem-nya lama, panas dan penuh
sesak. Ditambah lagi aku harus melewati barisan panjang mobil dan motor
yang terkena macet pada saat jam pulang kerja. Tapi hari ini aku
beruntung, ada pangeran berkuda besi yang bersedia mengantarku pulang.
Dalam perjalanan pulang aku dihadapkan
pada sesuatu yang menurutku tidak biasa ketika melewati terowongan Pasar
Ciputat. Barisan panjang mobil dan motor bertemu pada satu titik, yang
menyebabkan macet total.
“Ada apa ini? Tidak biasanya macet total seperti ini,” tanyaku dalam hati.
“Ih, kenapa nih? kok nggak bergerak?!” tanya orang yang memboncengiku.
Pikiranku semakin kacau, otakku semakin
disibukkan dengan bebunyian tidak beraturan yang menurutku tidak perlu,
yaitu suara-suara klakson mobil dan motor yang tiada henti menyakitkan
kupingku. Untung ada pangeran berkuda dihadapanku, diri ini bisa saja
dibuat tersenyum oleh ulahnya.
Sesampainya di ujung terowongan, aku
melihat tumpukan sampah yang menutupi badan jalan menuju arah Ciputat.
Sebelumnya, badan jalan terdiri dari dua sisi. Masing-masing lebarnya 5
meter, tapi kini satu badan jalan tertutup oleh padatnya sampah yang
masalahnya tak kunjung usai.
Melihat kejadian di luar batas kewajaran
itu, insting jurnalis Faraby Ferdiansyah (Aby), si pangeran berkuda
besi yang memboncengiku, langsung terpancing. Kebetulan ia sedang
membawa kamera. Dia pun langsung memarkirkan motor dan mulai beraksi.
Aku tidak mau kalah dengannya, ketika
Aby sedang mengambil gambar, aku pasrahkan tubuh ini berada dekat
sampah. Akuu mencari informasi dengan bertanya kepada orang sekitar
perihal sampah yang menggunung itu. Aku berjalan menuju warung bubur
kacang hijau yang berada tepat di samping tumpukan sampah, tapi ternyata
tidak ada orang di sana.
Lalu aku menghampiri pria berkulit hitam
dengan mata yang merah berkisar umur 27 tahun, aku bertanya padanya
“Bang, sampah ini menumpuk sejak kapan?” Pria itu hanya tersenyum dan
berkata “Saya nggak tau, Neng,” dari raut wajah dan badannya
yang sempoyongan, aku berspekulasi bahwa pria ini sedang mabuk. Kemudian
aku melihat bapak tua dengan rambut dan kumis yang telah memutih sedang
berdiri tepat di samping tumpukan sampah yang menutupi badan jalan,
dengan sok kenal aku menegurnya, “Assallamualaikum Bapak, apa kabar?”
beruntungnya bapak itu sangat ramah dan menerima kehadiranku. Lalu aku
membuka obrolan dengannya. Bapak tua tersebut bernama Ade, beliau
berusia 60 tahun.
Menurut Pak Ade, sampah tersebut
menumpuk sejak Jum’at, 26 Maret 2010 hingga hari ini selasa, 30 Maret
2010. Sampah di sekitar Pasar Ciputat tersebut tidak hanya berasal dari
pedagang di Pasar Ciputat saja, tetapi juga berasal dari warga Ciputat.
Biasanya mereka membuang sampah ketika hendak berangkat kerja. Mereka
melintas di sekitar Pasar Ciputat dengan membawa sampah lalu dilempar
begitu saja ke tumpukkan sampah yang ada. Tidak hanya itu, beberapa
pedagang dan orang yang melintas sering meletakkan sampah di sepanjang
trotoar Pasar Ciputat dan trotoar fly over, “Wah.. Neng, kalo Subuh dari ujung ke ujung sampah semua,” ucap Pak Ade.
Tumpukan sampah yang ada tidak hanya
menutupi badan jalan, bahkan jalanan yang rusak dan berlubang pun
tertutup oleh timbunan sampah. Tentu saja tumpukan sampah itu
menimbulkan aroma yang tidak sedap dan dikhawatirkan menjadi sumber
penyakit melihat banyaknya belatung yang muncul dari tumpukan sampah dan
menjalar ke dalam Pasar.
Volume sampah yang membludak
tidak sebanding dengan datangnya truk pengangkut sampah, sehingga sampah
bertumpuk dan menutupi badan jalan menuju Ciputat yang menyebabkan
jalur menuju Kedaung macet total.
Menurut informasi yang aku dapat, truk
pengangkut sampah di Pasar Ciputat ada dua, truk berwarna kuning yang
biasa digunakan untuk mengangkut sampah di daerah Tangerang dan truk
pengangkut sampah berwarna biru khusus wilayah Tangsel, namun
ketersediaan truk ini pun kurang memadai.
Semenjak Tangsel (Tangerang Selatan)
berpisah dengan Tangerang, Tangsel selalu bermasalah dengan sampah,
karena Tangsel tidak mempunyai Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Selama ini sampah dari Tangsel dibuang
ke wilayah Bantar Gebang, Bekasi, dengan membayar satu juta rupiah
setiap mengangkut sampah itu. Namun hal ini nampaknya tidak berlangsung
dengan baik hingga saat ini, sebab sampah-sampah masih menumpuk.
Beberapa waktu lalu, sempat terlihat
mesin pengolah sampah yang disewa beberapa hari oleh Pemda setempat,
tapi ternyata mesin tersebut tidak efektif untuk mengurangi sampah yang
ada, hanya untuk menghaluskan/mengecilkan sampah, bukan mengangkut
sampah.
Penumpukan sampah ini bisa menjadi
peringatan bagi kita untuk tidak membuang sampah sembarangan dan menjaga
lingkungan sejak dini.