Madakaripura tersusun atas tiga kata yaitu: Mada Kari Pura,
yang artinya “Tempat Tinggal Terakhir”. Sebuah tempat yang dipilih oleh Maha
Patih Gajah Mada sebagai tempat bertapa untuk memperoleh kesentosaan hingga ia
menjadi sakti mandraguna. Gajah Mada adalah seorang Patih dari Kerajaan
Majapahit yang namanya sangat besar karena telah berjuang dengan gigih
mempersatukan wilayah Nusantara (bukan hanya dari Sabang sampai Merauke tapi
dari Wanin hingga Madagaskar). Di tempat ini pula ia menghabiskan sisa hidupnya,
mempersiapkan diri untuk menuju nirwana.
Semua orang pasti suka jalan-jalan. Jadi tidak susah bagi
kami mengumpulkan personel untuk liburan kali ini. Yang menjadi masalah adalah
menentukan tempat yang akan dituju. Karena setiap orang punya selera masing-masing
dan untuk menyatukan itu semua bukan hal yang mudah. Setelah melalui perdebatan
yang cukup alot akhirnya kami memutuskan untuk mengunjungi tempat wisata
Madakaripura. Tempat ini dipilih karena menurut kami selain punya pemandangan
alam yang bagus juga punya nilai historis yang tinggi.
Tim berangkat dari Surabaya, tepatnya dari Sacharosa 63. Tim yang diberi nama
Tim 8 atau TPF (Tim Pencari Foto) berangkat dengan mengendarai Kijang Innova,
yang merupakan mobil sewaan. Tim tidak langsung menuju Madakaripura, tetapi
menuju Penanjakan terlebih dahulu untuk menikmati sunrise. Dikemudikan oleh
brother Harys dan dinavigatori oleh brother Fajar (brother adalah sebutan wajib
bagi sesama anggota Sacharosa), mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Harap
maklum jika kami tergesa-gesa karena jam keberangkatan telah molor sekitar 1,5
jam dari yang direncanakan.
|
Jadi hak milik selama 24 jam |
Menuju Penanjakan dari Surabaya, jalan yang terdekat adalah
lewat Pasuruan, kemudian masuk ke Desa Puspo. Medannya cukup berat, jalan
sempit, menanjak dan berkelok-kelok, tapi untungnya kondisi aspal masih bagus.
Sekitar pukul 03.30 WIB tim sampai di gerbang masuk Penanjakan. Lapor ke pos
terlebih dahulu serta membayar tarif masuk Rp. 2500,- per orang dan parkir Rp.
6000,-. Sebagai informasi, jika menuju Bromo melewati jalur ini mobil pribadi
diperbolehkan masuk. Berbeda dengan jalur Probolinggo, kita diharuskan untuk
menitipkan kendaraan pribadi dan melanjutkan perjalanan menggunakan
jeep/hardtop dengan biaya sewa sekitar Rp. 300.000,- . Hmm.. sama dengan ongkos
sewa mobil kami satu hari :-O
|
Tim 8 (dari kiri: me, nurul, arbay, fajar, anin, hanif, harys, ocik) |
Dari gerbang masuk menuju Penanjakan ternyata masih harus menempuh
kurang lebih 10 km lagi. Jam-jam segini ternyata banyak sekali jeep yang menuju
Penanjakan, untungnya kami berada di depan mereka. Tapi nampaknya mobil kami
melaju terlalu lambat. Maklum, namanya saja mobil keluarga dan driver belum
mengenal medan dengan baik. Karena jalanan sempit dan tidak mungkin untuk
menyalip, jadilah mobil kami bagaikan safety car di balapan F1. Bedanya safety
car yang satu ini tidak dihormati sama sekali, karena selalu diklakson oleh
jeep-jeep di belakanng. Hufh. Tapi brother Harys bisa beradaptasi cepat dengan
jalanan, dan akhirnya kami berhasil meninggalkan jauh jeep-jeep itu di
belakang. Salut!!! Diburu waktu memang tidak mengenakkan. Perasaan kami waktu
itu mungkin hampir sama dengan perasaan Sangkuriang, yaitu berharap agar
matahari tidak terbit terlebih dahulu.
|
Sudah diserbu turis |
Sekitar pukul 04.00 WIB akhirnya tim sampai di puncak
Penanjakan, untung saja sang fajar belum datang. Tapi mengapa tempat ini begitu
ramai, jangankan untuk mendapatkan sudut bagus mengambil gambar, untuk
meletakkan tripod saja seperti tidak ada tempat. Wisatawan asing dan lokal yang
jumlahnya hampir sama, tampak antusias sekali menunggu matahari terbit di sini.
Jadilah sunrise tersebut hanya kami abadikan dalam hati dan pikiran
masing-masing. Tapi brother Hanif, yang juga merupakan fotografer majalah ITS
online, berhasil menemukan tempat bagus untuk foto-foto. Walaupun harus
menuruni bukit yang agak curam, tapi tempat ini jauh dari jamahan wisatawan
lainnya dan pemandangannya benar-benar mantabz. Photo sesssion pun dimulai.
Syiip bro!!!
|
Brother Hanif Santoso |
|
Nemu tempat sepi di bawah tower-tower |
|
Foto-foto dulu |
|
Cara liatnya kepalanya agak dimiringkan sedikit
|
Setelah puas menikmati pemandangan di Penanjakan, perjalanan
menuju Madakaripura dilanjutkan. Jalan yang harus dilalui adalah berupa turunan
tebing dari puncak Penanjakan. Jalan begitu curam dan rem pun harus bekerja
keras di sini. Sampai-sampai bau hangus rem tercium dari dalam mobil. Tapi
pemandangan yang disuguhkan sungguh luar biasa dan benar-benar menakjubkan.
Semua terlihat kecil sekali dari atas sini. Sungguh Allah Maha Besar.
|
Gajah di pelupuk mata tak tampak, apalagi semut di seberang lautan |
Selesai melewati turunan tajam, rintangan selanjutnya berupa
lautan pasir. Tidak kalah berbahaya dengan medan sebelumnya, untung saja mobil
kami tidak sampai terjebak di lautan pasir ini. Pemandangannya pun tidak kalah
maknyus di sini. Setelah tadi melihat pemandangan dari ketinggian, sekarang
kami disuguhi view dari bawah. Melihat dinding kaldera yang menjulang tinggi
mengelilingi Gunung Bromo, sungguh megah rasanya. Obyek wisata Gunung Bromo pun
akhirnya kami lewati. Sayang tidak sempat mampir, bukannya sombong, tapi karena
tujuan utama tim adalah Madakaripura. Sampai jumpa Bromo lain waktu kami pasti
mampir.
|
Empuk-empuk gimana gitu |
|
Kulonuwon Bromo |
Sekitar pukul 10.00 WIB, akhirnya tim sampai juga di
Madakaripura. Obyek wisata ini terletak di Desa Sapeh, Kecamatan Lumbang,
sekitar 6 km dari lautan pasir Bromo. Di gerbang masuk terdapat patung seorang
laki-laki bertubuh gempal dan rambut yang digelung membulat. Ya benar, itu
adalah patung Gajah Mada. Memang terasa sekali kalau Gajah Mada merupakan ikon obyek
wisata ini. Tarif masuk ke lokasi ini adalah Rp 2.500,- per orang.
|
Model rambutnya Angga 'Maliq & d'essentials' |
Setelah memarkir mobil, kami didatangi oleh penduduk
setempat yang menawarkan jasa sebagai guide untuk membantu meniti jalan menuju
air terjun. Karena ini pertama kalinya kami ke sini, jadi kami mengiyakan saja
penawaran tersebut. Awalnya bapak itu menawarkan harga Rp 50.000,- tetapi
setelah tawar-menawar, harga akhirnya adalah Rp 30.000,-. Sebenarnya itu masih
tergolong mahal, karena menurut pengalaman teman kami, warga sekitar sudah
bersedia dengan dibayar Rp 10.000,- saja. Untuk menuju ke air terjun kami harus
berjalan kaki sejauh kurang lebih 2 km. Sesungguhnya di obyek wisata ini sudah
disediakan jalan setapak atau pedestrian untuk pengunjung. Karena pernah
terjadi longsor maka beberapa titik di pedestrian terputus, jadi kami harus
bersusah payah menyebrang sungai dan melewati batu-batu. Tetapi sungguh itu
semua malah menambah nikmatnya perjalanan ini. Walaupun di sungai juga banyak
terdapat lintah, jadi harus tetap waspada!
|
Korban lintah of the day adalah Fajar.. wkwkwk.. |
|
Jalan setapak
|
Setelah kurang lebih 15 menit berjalan, akhirnya tim sudah
mendekati lokasi air terjun. Tidak terasa capek sama sekali, karena pemandangan
selama perjalanan telah menghapusnya. Tebing-tebing tinggi di kanan dan kiri
bagaikan ingin menjepit kami saja. Terdapat warung kecil, pos penjaga, dan
toilet di sana. Guide pun mengingatkan untuk menyimpan barang-barang kami,
karena deretan air terjun nanti bisa membuat kami basah kuyup. Di sana pun
sudah ada yang berjualan tas kresek dan juga menyewakan payung seharga Rp.
2000,-. Setelah semuanya siap perjalanan pun dilanjutkan.
Ternyata benar apa yang dikatakan oleh guide kami, untuk
menuju air terjun utama kami harus lewat di bawah deretan air terjun kecil.
Jumhlanya ada lima buah, disinilah letak keseruannya, seperti main
hujan-hujanan, karena limpahan air tidak bisa dihindari sehingga membuat kami
menjadi basah kuyup. Tapi ingat harus tetap waspada karena jalan yang dilalui
cukup licin, tidak jarang di antara kami yang jatuh terpeleset saat menginjak
batu. Pemandangan di titik ini pun sangat cantik, tidak heran jika sebuah
produk air mineral memasangnya pada iklan mereka (Aqua, red).
|
Indahnya |
Mendekati air terjun utama, lorong semakin menyempit,
jalanan berupa batu-batu terjal dan semakin sulit untuk dilewati. Akhirnya tim
sampai pada sebuah jalan buntu berupa cerung sempit dengan diameter sekitar 25
m. Di sana terdapat sebuah air terjun yang sangat besar, dengan ketinggian
sekitar 200 m. Air dengan kekuatan besar melimpah dari atas, jatuh ke kolam
yang dalamnya sekitar 7 m. Suara gemuruh air pun terdengar keras sekali. Agak
mengerikan memang karena kami serasa terkurung di dalam ruangan alam ini,
seolah-olah berada di dasar sebuah tabung batuan yang tinggi. Di tengah-tengah
air terjun ini terdapat sebuah goa yang menganga, konon di sanalah Gajah Mada
menghabiskan sisa usianya untuk bertapa.
Keperkasaan yang dahsyat di Madakaripura inilah yang menjadi
alasan Gajah Mada memilihnya sebagai tempat untuk menghabiskan sisa usia.
Betapapun panjang sebuah perjalanan, pasti akan sampai juga pada titik akhir.
Betapapun sempurna keindahan mentari pagi di ufuk timur, betapapun garang ia
membakar bumi tepat di siang hari, ketika senja membayang, ia harus tenggelam
juga. Lakon Gajah Mada telah pula sampai di ujungnya. Tragedi Bubat telah
melukai begitu banyak pihak dan berdampak sangat luas. Gajah Mada ditempatkan
sebagai pihak paling bersalah atas tragedi itu. Ia dihujat, dicaci, dan dicela.
Namun, sesungguhnya sang legendaris ini juga merasa terluka. Ia terluka karena
merasa kerja kerasnya selama dua puluhan tahun lebih pada akhirnya tak ada
harganya sama sekali. Segala pengorbanan yang ia berikan untuk dapat menyatukan
seluruh wilayah Nusantara di bawah panji-panji Majapahit justru gagal di
langkah terakhir. Mungkin air terjun inilah yang menjadi saksi bisu kesedihan
hati Sang Maha Patih.
Sungguh tempat yang sangat sakral, tidak heran mendengar
cerita guide kami jika Madakaripura juga sering dijadikan tempat semedi
orang-orang yang ingin mencari ilmu batin. Tepat di samping air terjun besar
itu, juga terdapat sebuah air terjun kecil yang bernama “Tirta Serwana”. Banyak
orang yang mempercayai jika air dari “Tirta Serwana” ini berkhasiat memberikan
kesembuhan dan membuat awet muda. Saya pun langsung mencoba menikmati guyuran
air di sana, seperti pijat refleksi, enak sekali rasanya. Khasiatnya ternyata
juga langsung terasa, yaitu gatel-gatel.. hehehe..
|
Ini bukan Gajah Mada yang lagi mandi :) |
Sayang sekali derasnya cipratan air dari air terjun membuat
kami mengurungkan niat untuk mengambil foto. Hanya kamera pocket yang digunakan
untuk sekedar foto bersama. Jadi saya sertakan saja gambar-gambar yang didapat
dari hasil browsing.
|
Kami akan kembali |
NB:
Thanks to Allah SWT atas keindahan yang telah diciptakan dan
kesempatan bagi kami untuk menikmatinya. Terima kasih juga buat tim 8 atas
waktunya, serta tidak lupa buat Brother Harys sebagai driver, benar-benar darah
muda.
inilah cerita kami dari Tim 8
trim's plh Indonesia