Mataku akhirnya terbuka setelah lama
kututupkan selama perjalanan. Padatnya penumpang di atas tumpukan karung
beras yang menyelip di bawah kursi membuat tenggorokanku terasa
terjepit. Rasa mual yang kurasakan selama perjalanan membuatku terkulai
di kursi penumpang. Sesekali ketika terbangun kuambil beberapa foto di
sekitarku untuk mengalihkan rasa mual. Bus yang kukendarai melaju santai
di jalan Jeneponto yang panjang dan akhirnya berhenti di depan sebuah
rumah makan memasuki Bulukumba.
Perjalanan yang panjang selama 9 jam
menuju pelabuhan Bira dari Makassar belum terhenti sampai di situ.
Tujuan akhir perjalanan ini adalah menuju Selayar si kampong tercinta.
Bila dihitung-hitung sejak dimasukkannya rohku ke dalam janin, ini
adalah kali ketiga aku akan menginjakkan kaki ke daerah asal Bapakku
itu. Dapat terbayang betapa ‘exciting’-nya aku untuk perjalanan ini.
Namun, lihatlah aku sekarang yang berkali-kali memaksa menutup mata
untuk tidur. Tak ayal 7 jam perjalanan kuhabiskan hanya untuk tidur.
Sesampainya di Pelabuhan Bira, bus mengantri rapi di depan pintu masuk
Ferri putih KMP Sangke Palangga. Tampaknya air yang surut membuat
perjalanan terpaksa dihentikan hari ini. ‘Tunggu! Apa itu berarti kami
akan bermalam di sini?!’ Itu yang kupikirkan. Dan tidak meleset. Air
akan pasang penuh pada pagi hari dan berarti malam ini kami dari sekian
banyak penumpang dari 6 bus dan para supir truk serta pengendara motor
akan ‘tidur bareng’ di pelabuhan Bira. Astaga..
KMP. Sangke Palangga si Ferri
Bapak dan Pantai Bira berpasir putih
Masyarakat Bira yang turun ke laut buat mm..entahlah antara ngambil rumput laut, nyari kepiting, atau nyari kerang. Wallahu alam
Kondisi
yang terlihat ketika air sedang surut di pelabuhan Bira. Penampakan
inilah yang terlihat selama perjalanan kaki menuju pesisir untuk
istirahat malam ini. Luar biasa kan..
Satu kapal layar asing. Tampaknya baru selesai dibuat. Whatever-lah..
Di
sela-sela menunggu kejelasan jadwal keberangkatan, menikmati hembusan
angin laut. Jadi ingat lagunya Ikimonogakari – kaze ga fuite iru.
Malam itu bukan lagi semilir angin sepoi-sepoi, melainkan terpaan angin
laut yang super dingin (korban tidur di bale-bale pantai semalaman).
Kalau tahu begini, lain kali diperjalanan selanjutnya sarung Cap Ga**h
Dud*k yang tebal plus panjang itu mesti siap ditas jinjangan. Bahkan
beberapa gelas susu hangat tidak mampu ngangetin perut. Jadilah,
‘mattigoro’ gara-gara masuk angin.
Pukul 6.00 pagi, air laut mulai merangkak bersama matahari menyapa kami. Good Morniiiing!! Itu artinya berangkaattt!!
Mulut pintu Ferri bakal calon yang dinaiki. Mobil sebanyak ini muat gak, ya?
Kondisi lantai dua ferri.
Sepanjang perjalanan, ombak benar-benar
tidak ramah. Dayu ke kiri, dayu ke kanan..terus begitu selama 3,5 jam.
Air laut dari dasar ferri sampai terlihat ketika KMP ini bergerak.
Kemiringan yang kuprediksi adalah 45 derajat. Bunuhma! Sempat mikir,
jangan-jangan waktu batita dulu aku gak diayun (kata orang dulu, anak
kecil diayun biar nanti gak mabok laut). Guh, sahabatku sepanjang laut
adalah kamar mandi 1 x 1 meter. Oh, no!
Tapi tenang, itu hanya akan Anda rasakan
bila angin sedang lebay. Bila sama sekali tidak ada angin, maka
perjalanan hanya 2-2,5 jam mulus dan ferri Anda akan dikelilingi ikan
lumba-lumba dari berbagai sisi loncat-loncat pamer. Anda dapat memilih
berfoto dari puncak ferri bersama indahnya Selat Selayar atau bersantai
di dalam kapal menyaksikan berbagai acara Indovision Channel sampai
berkaraoke ria. Aku saja yang apes, jadi jangan dihiraukan.
Mendekati Pulau Selayar kita tercinta,
Anda akan melewati tiga pulau yakni Pulau Pasinatene; Pulau batu tak
berpenghuni yang menjadi ‘rebutan’ Selayar dengan Bulukumba. Katanya
salah satu dive spot bagus yang penuh hiu ‘black tip’ atau
‘white tip’, yang banyak mendatangkan penyelam domestik maupun
mancanegara, dengan catatan; only for advanced diver karena
konon arusnya cukup kuat; dan Pulau Kambing, yang katanya Bapakku (entah
benar atau godaan akan fobiaku) memang pulau yang dipenuhi kambing dan
untuk mengantar kambingnya ke pulau lain, kambing-kambing itu diceburkan
di laut dan dinaikkan ke kapal. Hm, berdasarkan searching-searching
selama ini, Pulau satu ini termasuk pulau yang terlupakan oleh eksekutif
Bulukumba. Aduh…pejabat kita..
Pelabuhan Pamatata, Selayar. Akhirnya mendarat..eh, berlabuh. Aku cinta tanah!
Subhanallah! Asri pisan nih, pelabuhan…Bira sudah cantik, ini lebih cantik! Serasa pengen terjun mandi.. hahaha!
Ala!
Inilah panorama yang akan ditawarkan sepanjang 2 jam perjalanan dari
Pelabuhan Pamatata, Bontomatene. Kali ini Anda tidak akan bosan. Pantai
yang bersih, pasir putih di sepanjang jalan, katinting, pohon kelapa
tiap 2 meter, udara yang sejuk, dan penangkaran rumput laut benar-benar
menyenangkan hati. Rasanya tidak sabar apa yang akan ada selanjutnya.
Terakhir menginjakkan kaki di pulau ini adalah sejak kelas 6 sd 9 tahun
lalu (well, sebenarnya belum injak tanah dari bus sejak ferri). Aku
ingat betul panorama selama perjalanan menuju Benteng memang agak kering
dan lebih bernuansa pesisir. Sedangkan, menuju kampongku dari Benteng
lebih terasa nuansa rimbun dan sejuk panorama pegunungannya.
Satu setengah jam duduk akhirnya bus tiba di terminal, Bontomanai.
Perjalanan selanjutnya, atur masing-masing. Untungnya keluarga udah
menjemput aku dan bapak dengan dua motor tanpa nomor kendaraan.
Tampaknya di sini tidak ada istilah tilang-tilangan. Tentu saja!
Kurang lebih setengah jam perjalanan, kami akhirnya tiba di Kota
Benteng! Yippie.. akhirnya sampai..70% perjalanan menuju rumah nenek.
Suguhan kopi hasil request-an ma tante dan beberapa kue cukup menyangga perut pagi itu.
Ngambil foto diri di sela perjalanan. I’m coming nenek!!
Kecamatan Bontoharu. Sedikit lagi menuju
rumah nenek. Di atas menunjukkan tanda jalan menuju Bandara Aroeppala
(kantor di Jl. Poros Bandara Sultan Hasanuddin Mandai, telp (0411)
550664). Berdasarkan hasil googling lagi, harga tiket untuk naik SMAC (Sabang Merauke Air Charter), adalah Rp. 230.000 (termasuk airport tax).
Dan tidak ada angkutan umum dari bandara, Situ harus berjalan kaki
sekitar 150 meter keluar Bandara untuk mendapat angkot ke Benteng.
Paling baik anda menghubungi teman/ contact person untuk menjemput. (copas)
Melalui
Bontoharu motor kami berbelok ke kanan tegas menuju Bontosikuyu
(kampong gue) tepatnya di desa pertama, Desa Pattilereng.
Di
Desa Pattilereng sendiri akan dilalui beberapa desa kecil. Okey,
kurang tahu nama kampong satu ini, yang jelas dari awal bertemu dengan
rumah yang ada PENANJAKAN TERUUUS… ‘Kapan berakhirnya..??’ Jangan lupa
tangan harus kuat menancap gas. Salut buat Om yang memboncengku. Haha!
Melewati
kampong ‘penanjakan’ tadi, akhirnya penurunan…well, ini agak ekstrim
terutama bila berkendara di malam hari. Jalanan hanya muat untuk satu
mobil atau dua motor untuk lewat. Pembelokan cukup menikung tanpa palang
jalan di arah jurang. Wow! Sumpah cukup memacu adrenalin. (Beberapa
yang lebih ekstrim sudah tidak tertangkap kamera karena mesti pegangan)
Dan, this is it! Kampong gue! Dusun Lalemang!
ARGH,
sialnya charge kamera sudah habis selama foto-foto diperjalanan. Yah,
mau diapa lagi, di sini belum sampai listrik dan belum mendapatkan
sinyal Telkomsel. Sejak memasuki perbatasan Bontosiharu menuju
Bontosikuyu memang yang kudapati adalah tiang-tiang beton menjulang
tinggi. Awalnya bingung, namun ternyata itu adalah tiang listrik yang
telah ada sejak dua tahun yang lalu. Kabarnya jumlah tiang yang
terbengkalai ada sekitar ribuan.
Suasana masak-masak di rumah nenek.
SINYAL.
Satu hal yang menarik dari Lalemang adalah sinyal. Aku rasa isu
listrik, sinyal dan air bukanlah hal baru untuk kampong-kampung kecil
lainnya. Sinyal tidak ada di sini. Kecuali, sinyal indosat. Itu pun
terbatas untuk ponsel segenerasi dengan Nokia Layar Kuning (lupa
tipenya). Pengalaman pribadi, khusus di Lalemang, untuk menghubungi mama
di Makassar, aku harus sedikit manjat di jendela dengan mengeluarkan
kepala sambil menelpon atau naik ke gunung (kebetulan di depan rumah ada
gunung). Hehe!
LISTRIK.
Nah, terakhir aku main di kampong ini, malam-malam kami masih disinari
oleh cahaya PELITA dengan ciri khas asap yang menghitamkan dinding
rumah. Tidak kubayangkan betapa sederhana dan setengah matinya Bapak
ketika sekolah dulu. Bahkan dulunya beliau masih menulis di atas batu
atau daun pisang kering di saat mamaku yang bersekolah di Barru telah
menggunakan pensil dan kertas. Haha! Keadaan Lalemang yang tidak
dilengkapi sarana pendidikan seperti sekolah mengharuskan anak muda di
sini (dulunya) berjalanan berpuluh kilometer untuk sampai ke sekolah
atau memberi pilihan untuk tinggal di rumah kerabat yang dekat dengan
sekolah (sekarang). Kini, untuk menikmati listrik selama pukul 6 sore
hingga pukul 11 malam, kami harus membeli SOLAR, cuih… mau tambahan jam?
Silahkan menuju pangkalan solar terdekat. Haha!
KUBURAN.
Maklumlah topologi Selayar yang berbatu dan bergunung, maka seperti di
daerah lainnya di Sulawesi, Kuburan itu udah biasa letaknya di gunung.
AIR.
Ini yang sangat kusuka dari Lalemang. Airnya berlimpah! Daerah kami
tidak mendapatkan bantuan air dari pemerintah, melainkan memperoleh air
dari mata air gunung. Poko’e fresh from the nature, deh! Jaman sd dulu
kalau mau mandi atau urusan kakus (buang air besar) biasanya ya, ke
sungai. Mau pilih sungai yang arusnya rendah sampai yang ada air
terjunnya itu kayak membalikkan telapak tangan. Ganti baju silahkan di
belakang batu, toh orang obese pun tidak bakalan kelihatan, wong batunya
besar-besar. Sekarang, 9 tahun berlalu, akhirnya ada kamar mandi.
Hahah! Air dari mata air telah dialiri menggunakan selang plastik dan
bambu-bambu. Air jalan 24 jam dan rasanya dingin. Untuk menghentikan
airnya tinggal sumbat saja dengan karet gabus.
Foto Nenekku yang sejak tadi disebut-sebut. Nenekku ini udah mulai bungkuk.
Hobi
: 1. naik turun gunung bawa sepikulan besar biji kenari yang beratnya
luar biasa, 2. Mecahin buah kenari yang kerasnya minta ampun, 3. Bikin
minyak kelapa. Tidak ada sehebat nenek satu ini. Bahkan, di usia yang
kalo nggak salah (dia juga nggak tau) sekitar 90an, giginya masih ada
karena rajin makan sirih. Heheh!
Language
: bahasa selayar. Ini dia masalah besarku dengannya. Komunikasi. Hampir
semua oma dan opa di kampong selayar tidak bisa menggunakan bahasa
Indonesia. Ojan….
WARGA SELAYAR terkenal akan tubuhnya yang kuat-kuat! (aku rasa)
Mungkin
alasan topologi yang cukup ekstrim (lebay) membuat masyarakatnya
terutama di pedesaan terbiasa bekerja keras, kreatif menggunakan otak
dan tidak segan menggunakan otot. Seperti membangun rumah, jembatan,
naik gunung, dsb. Contoh paling kuat adalah bapakku yang diusianya yang
hampir 60an masih suka membangun rumah, bisa bikin furniture sendiri,
pokoknya pekerjaan semen, batu, kayu, sudah jadi makanan
Sabtu-Minggunya.
Kegiatan
para lelaki yang kulihat selama tinggal di desa ini cukup hidup.
Pemulanganku ke Selayar sebenarnya adalah untuk menghadiri malam
pengajian meninggalnya kakak ipar Bapak. Pagi hari sebelum malam
pengajian, para lelaki bahu membahu memasang tenda. Di Makassar sih,
sudah biasa, tapi yang ini cukup unik. Tenda biru dipasang cukup tinggi.
Diikatkan di atap rumah warga yang memang sudah tinggi, tidak dengan
tali rafiah, melainkan dengan serat pohon. Yang sigap malah para lelaki
yang berusia lanjut. Dalam waktu beberapa menit saja, dua tenda yang
cukup menutupi seluruh jalan terpasang kokoh. Takjub juga! Tanpa tangga
pula, yang ada hanya manjat manual (lebih tepatnya bergelantungan)
Malam
pengajian di sana tidak seperti di Makassar. Di sana tamu masih
dihidangkan makanan sampai kenyang kemudian dilaksanakan hanya satu
malam berbeda dengan di Makassar yang biasanya minimal 3 hari
berturut-turut dan tamu hanya disuguhi air dan kue (syariat).
Malam ini khusus dibeli beberapa liter SOLAR.
Pagi
harinya (tepatnya subuh), aku dan Bapak bertolak ke pelabuhan siap
untuk kembali ke Makassar. Perjalanan yang sangat menyenangkan, namun
singkat. Begitu banyak tempat yang belum didatangi. Bahkan pantai di
belakang rumah dan sungai depan rumah tidak sempat kuhampiri. Kuharap
selalu ada kesempatanku untuk ‘berlibur’ ke sana lagi.
Love
Selayar Island, kau benar-benar si itik buruk rupa yang masih
menyembunyikan keindahanmu.. Kalau orang asing yang menyadarinya
potensimu duluan, bisa jadi kau direbut orang!
Ini ada copasan bagus tentang
HAL UMUM YANG PERLU DIKETAHUI DARI SELAYAR
From : http://kyonsroom.wordpress.com/Waktu: Selayar & Taka Bonerate adalah Waktu Indonesia Tengah (WITA), sama dengan Makassar, atau satu jam lebih cepat dibanding Jakarta.Waktu terbaik mengunjungi Selayar adalah Oktober-November dan Maret-April. Bila anda mabuk laut hindari berlayar pada musim Barat (Akhir Desember-Februari) dan musim Timur (Agustus-September). Bila terpaksa, bawalah obat-obat yang cukup. It’s suppose to be fun, guys!Fasilitas : ATM tersedia di Benteng, berupa ATM BRI dan BPD, yang dapat melayani transaksi ATM Bersama dan Prima. Bawalah uang tunai secukupnya, dapat dipakai untuk membeli souvenir sambil menyumbang upaya konservasi di Benteng atau Taman Nasional.Sinyal handphone Telkomsel (termasuk flexi) dan Indosat tersedia di Benteng. Dermaga Pamatata hingga pantai selatan Selayar dapat dijangkau sinyal Indosat (beberapa tempat masih blank spot). Tidak ada signal di kawasan Taka Bonerate. Fasilitas telpon satelit terdapat di pulau Rajuni, kira-kira 20 menit dari guest house dengan speedboat.Harga BBM (bensin) Rp. 6000/liter, bila anda berniat menyewa sepeda motor/mobil.Menuju Selayar:SMAC (Sabang Merauke Air Charter), kantor di Jl. Poros Bandara Sultan Hasanuddin Mandai, telp (0411) 550664. Harga Tiket : Rp. 230.000 (termasuk aiport tax) Dari Bandara Aroepalla Selayar, tidak ada angkutan umum dari Bandara, Anda harus berjalan kaki sekitar 150 meter keluar Bandara untuk mendapat angkot ke Benteng. Paling baik anda menghubungi teman/ contact person untuk menjemput.Perwakilan Bus Aneka (AC), Telp. 0411-5048232 (Makassar) atau 0414-22489 (Selayar).Perwakilan bus Sumber Mas Murni (AC), Telp. 0411- (Makassar) dan 0414-21154 (Selayar). Harga Tiket Rp. 100.000/orang. Dari Terminal ke penginapan, anda dapat memakai jasa ojek (Rp. 10-15 ribu)Taman Nasional Taka Bonerate (Free Hot Spot / Wi-fi), Jl. S. Parman No. 40 Benteng, Selayar. Contact person: Nadzrun Jamil (081210011007) Asri (08114205360) Hendra Mustajab (081241948948)Penginapan di Selayar : Hotel Shafira (melati) tarif 250.000/kamar Telp. 0414-22766-8. Hotel Selayar Beach (melati) harga sewa Rp. 200.000 – 250.000/ kamar. Telp. 0414-21617. Wisma PKK Tanadoang, 250.000/kamar. Semuanya termasuk sarapan.Tinabo Guest House : Fasilitas spring bed, kamar mandi luar, kipas angin. Harga sewa hubungi kantor Balai TN TBR (sedang dalam penyusunan tarif baru).Tips Menyelam : Stay within the rule. Rencanakan dive anda dan diskusikan dengan buddy sejelas mungkin. Terutama bila setelah trip anda berencana pulang naik pesawat. Pastikan kita menyelam dengan taat pada no deco time (bila anda memiliki dive computer), atau batasi penyelaman di hari terakhir dengan memilih spot dangkal atau hanya bersnorkeling. Keamanan tetap yang utama, agar liburan betul-betul memberi kesan tak terlupakan.
Itulah Ceritaku untuk plh Silajara Indonesia
Terus Mana Ceritamu?