Dua tahun lalu, jika kita menyebut nama “Pulau Tidung” mungkin tidak banyak yang tau nama tersebut. Namun, pulau itu sekarang begitu terkenal, terutama bagi warga Jakarta dan sekitarnya. Coba saja ketik “pulau tidung” pada seachengine komputer anda, pasti akan langsung muncul puluhan info tentang pulau yang berjarak 2,5 jam dari Jakarta ini.
Pulau Tidung adalah sebuah pulau yang merupakan bagian dari Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu sendiri sudah lama menjadi tujuan wisata bagi warga Jakarta. Dulu, tujuan utama traveler adalah Pulau Bidadari . Namun, seiring dengan semakin kotornya Pulau Bidadari maka Pulau Tidung berhasil menggeliat menggantikan Pulau Bidadari.
Fenomena yang menarik. Dulu kita tidak mengenal pulau tersebut sama sekali. Namun kini, setiap akhir pekan ribuan orang rela bangun pagi menuju dermaga dan berhimpit-himpitan di kapal motor tradisional demi menyebrang lautan menuju pulau yang dihuni sekitar 3000 KK itu. Pulau Tidung bukan satu-satunya fenomena, masih banyak pulau lainnya yang “telat terkenal” yang tersebar dari sabang sampai marauke seperti Pulau Sikuai di Sumatra Barat, Bangka Belitung, Karimun Jawa, sampai Raja Ampat di Papua.
Sebenarnya fenomena telat terkenal ini ada untungnya juga karena “seolah-olah” kita mendapatkan sesuatu yang baru . Ketika SD kita sudah mendapatkan pelajaran tentang kekayaan alam Indonesia. Ada Danau Toba, Ngarai Sianok, Tangkuban Perahu, Candi Borobudur, Pantai Kuta, dll. Walaupun belum pernah menjejakkan kaki secara langsung ke tempat2 tersebut, namun saya yakin deskripsi yang disampaikan oleh guru2 mampu membuat kita berdecak kagum akan kekayaan Indonesia. Namun kini kita “merasa” disuguhi lagi ”sesuatu yang baru” yang tak kalah indah, bahkan lebih eksotis. Hal ini tentunya menunjukkan bahwa INDONESIA MASIH KAYA, masih banyak tempat-tempat menarik yang belum terekspos. Ini menunjukkan pariwisata Indonesia tak akan ada matinya. Mati satu tumbuh seribu. Dan saya yakin, 2-3 tahun ke depan akan ada lagi tidung-tidung lainnya.
Pertanyaannya, bisakah kita menjaga kekayaan tersebut? Pulau bidadari contohnya, ditinggalkan pengunjungnya karena pulau tersebut sudah tidak “nyaman” lagi. Kalau “ketidaknyamanan” tersebut disebabkan oleh ulah manusia, maka bisa dipastikan Pulau Tidung pun akan segera ditinggalkan juga. Walaupun nantinya akan ada pengganti Tidung, namun akan sampai kapankah terus begitu? Bukankah Bali juga sudah diberitakan secara internasional sebagai neraka yang penuh sampah ?
Kekayaan-kekayaan yang baru terekspos tersebut hendaknya bukan untuk menggantikan wisata-wisata sebelumnya melainkan menjadi variasi terhadap wisata yang sudah ada sehingga kita tetap memiliki keragaman wisata. Kalau kita tidak bisa merawatnya, tunggu saja masa kepunahan wisata alam Indonesia.
Inilah Ceritaku, Mana Ceritamu
temukan kami di http://yusnadi.com ya