DALAM penetapan hutan, pada suatu wilayah tertentu
seperti di Batam, memerlukan proses tahapan dan berbagai kegiatan
dilakukan. Bahkan dibentuk yang namanya Tim Padu Serasi, berdasarkan
surat keputusan, juga instansi terkait atau pemangku kepentingan
seharusnya ada di dalamnya, bahkan sosialisasi dan publikasi kegiatan
pada setiap tahapan kegiatan, namun mengapa semua pemangku kepentingan
seolah-olah terperanjat, dan seolah bingung, ini ada kura-kura dalam
perahu, pura-pura tidak tahu.
Masalah dan persoalah hutan di Batam bukanlah baru, bahkan hampir
sama dengan di mulainya pembangunan di Batam ini pada khususnya, mengapa
dikatakan demikian, karena berdasarkan Kepres Daerah Industri Pulau
Batam sudah dengan di atur bahwa seluruh lahan yang ada di Pulau Batam
dan sekitarnya yang ditunjuk pengelolaannya berada di satu
Otoritas/penguasa yaitu Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam
atau yang dari dahulu sering di sebut OB, dan sekarang beralih menjadi
Badan Pengusahaan Kawasan Batam atau di sebut juga BP Kawasan.
Kalau ada pihak yang mengarahkan sumber kelengahan/ke-alpaan ini ada
pada lembaga yang di maksud, hal itu tentu tidak dapat di salahkan pada
keseluruhannya, karena memang seharusnya otoritas yang di wajibkan
membuat “master plan” pembangunan Batam pada saat itu satu-satunya hanya
OB bukan yang lain, pertanyaannya sekarang adalah, mengapa tidak
peta-peta, atau batas-batas hutan, dan jenis-jenis hutan, padahal telah
sekian puluh tahun Batam ini di kelola OB, atau pertanyaan berikut,
kalau dari awal sudah di tetapkan “master plan” pembangunan Batam tentu
sudah ada batasan dan peta-peta yang mana yang boleh di aloasikan kepada
pihak ketiga yang membutuhkan, karena tugas OB memang di atur untuk
mengalokasikan lahan kepada pihak ketiga yang membutuhkannya.
Situasi seperti sekarang ini terus terang sunggu ironis, dan telah
menimbulkan ketidak pastian hukum, bagi pihak ketiga yang menerima
pengalokasian lahan dari OB, selama ini semua pihak memahaminya OB
memiliki otoritas penuh menetapkan lokasi mana yang dapat di berikan
kepada perusahaan atau pribadi sebagai pihak ketiga yang membutuhkan
lahan, otoritas itu harus di jamin oleh hukum, baik dari sisi hukum
administrasi Negara, maupun dari sisi hukum keperdataan, sebab jika
tidak demikian, namanya bukan Otorita, sebab di manapun di dunia ini
secara universal pemegang Otoritas itu dijamin penuh kewenangannya oleh
Hukum apapun termasuh hukum tata Negara, makanya Professor DR A P
Parlindungan, SH, mantan Rektor Universitas Sumatera Utara, pernah
berpendapat, bahwa Wilayah OB itu seperti Negara diatas Negara, wilayah
kerja OB itu sifatnya khusus, seharusnya seluruh ketentuan
perundang-undangan yang di terbitkan harusnya menjaga kekhususan
Otoritas itu untuk menjaga terjaminnya kepastian Hukum, yang tujuannya
menjaga kepercayaan kegiatan investasi.
Oleh karena itu, yang berwenang menetapkan mana hutan dan segala
jenis-jenisnya hanya OB, maka peta-peta, yang lengkap menunjukkan
batas-bataspun seharusnya sedari awal di mulainya pembanguan Batam sudah
ada, kemudian kalau memang semua yang penting itu di abaikan,
pertanyaannya adalah dasarnya pembangunan di Batam ini di
implementasikan menjadi patut dipersoalkan, terlalu sederhana jika semua
persoalan ini hanya di jawab lembaga OB, karena otoritas itu di berikan
kepadanya untuk di jalankan, selama ini Kementerian Sekretaris Negara
juga berperan penting dalam menjalankan otoritas yang di berikan oleh
Negara kepada OB, begitu juga dengan lembaga kepresidenan. Yang perlu di
benahi adalah keterbukaan institusi-institus yang ada di Republik ini,
pertanyaan penting yang mendesak untuk di jawab adalah, masihkah serius
untuk memberikan “Otoritas” yang selama ini kepada OB yang sekarang
telah beralih menjadi BP kawasan, sebab kalau BP tidak lagi memiliki
legitimasi, atau semua sudah ingin mempreteli “otoritas” yang pernah di
berikan kepada OB/BP, maka ada baiknya di cari formula untuk menata
ulang dan mendefinisikan ulang makna dan tujuan pembangunan Batam, sebab
bila semua pihak sekarang sudah orientasi berpikirnya adalah Otonomi
Daerah yang seluas-luasnya, maka makna dan tujuan OB/BP telah terreduksi
secara sistematis.
Masalahnya pertanyaan yang timbul kemudian adalah, apakah Otonomi
Daerah yang seluas-luasnya yang di maknai sekarang ini sudah berjalan.
Karena fakta emperis, otonomi daerah yang berjalan selama ini prakteknya
semua masih harus di konsultasikan ke Pusat, apakah itu Depdagri,
Depkeau, dan lain-lain, untuk merangcang Peraturan Daerah saja sebelum
menyusun Naskah Akademiknya saja judah harus perlu di konsultasikan ke
Depdagri, pertanyaan selanjutnya, lalu letak Otonomi Daerah itu dimana,
menetapkan hutan juga tidak berwenang secara “otonom”, anggaran juga
mekanismenya tidak luput dari konsultasi ke Pusat, salah sedikit
urusannya ke KPK, kita harus hati-hati, urusan hutan pun tetap bisa
berujung di KPK, maka pertanyaannya otonomi daerah yang luas yang di
maksud itu yang mana, kalau keadaan otonomi itu di pandang dari situasi
era Orde Baru, memang jelas beda, namun substasinya bukan disitu,
sehingga Otonomi Daerah yang sekarang berjalan bukan berdasarkan konsep
Otonomi daerah yang Universal, melainkan hanyalah Otonomi Daerah
berdasarkan UU Otonomi Daerah, sehingga persoalan penetapan hutanpun
menjadi bermasalah hampir di seluruh wilayah NKRI, bukan hanya di Batam.
Oleh karena itu Dewan Kawasan(DK) selaku lembaga yang di berikan
kewenangan oleh UU FTZ untuk mengawasi dan mengatur seluruh kegiatan di
kawasan, seharusnya memiliki kewenangan regulatif mengatur masalah Hutan
ini, makanya, lembaga DK FTZ itu perlu di maksimalkan, dan di
perlengkapi dengan Tim Asistensi dan Tim Konsultasi, yang tujuannya
merancang dan mengkaji serta melakukan tindakan mediasi baik antar
institusi dan instansi, agar ketidak selarasan aturan-perundangan yang
ada dan telah menghambat proses kegiatan di kawasan dapat di jembatani
dapat juga dicarikan solusi, agar pembangunan dan kepastian hukum
berlangsung terus dan para invertor menjadi percaya.
Dalam keadaan Negara belum mengadakan harmohisasi produk
perundang-undangannya seperti sekarang, sepatutnyalah ada kemauan
politik untuk memperkuat kelembagaan DK dan BP, supaya kegiatan di
Kawasan dapat berjalan, karena kegiatan di Kawasan juga di harapkan
dapat memberikan “Stimulus Ekonomi” untuk menopang Paket pemerintah
untuk menghindari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), sebab jika kebijakan
pemerintah seperti cara penetapan Hutan di Batam ini masih terus di
pertahankan maka pada ahirnya sangat berakibat langsung kepada kegiatan
ekonomi di Batam sebagai wilayah yang sudah di tetapkan Kawasan
Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas/Free Trade Zone/FTZ, dan ini
sangatlah bertentangan (anomali), di satu pihak ingin mengundang
investor, namun disisi lain tidak mampu memberian kepastian hukum, semua
instansi saling mementingkan sektor masing-masing, akhirnya aturan
tidak selaras, terjadi benturan norma hukum Otonomi daerah dengan
pengaturan dari Pusat, begitu pula dengan sistim FTZ, semua rancu, tidak
saling mendukung.
Sehingga semua bersekap jadi penguasa, tidak berusaha mengerti yang
di ayomi, atau yang di layani, semua mengondisikan supaya di hadap dan
dihargai, soal cara tergantung tingkat dan tingginya diplomasi dan
urgensi urusannya, sampai kapanpun KPK tidak akan berhasil memberantas
korupsi, jika kultur birokrasi di republik ini tidak di reformasi total,
sistem administrasi Negara yang ada sekarang belum cukup mendukung
kearah sistem investor friendly. Menggugat itu memang cara yang sah,
namun dapat menjadi penambah persoalan baru, karena yang kita perlukan
bukan sekedar sah atau tidak sah, namun penataan dan pengaturan hutan
ini juga di butuhkan agar masalah yang sama tidak berulang
terus-menerus. ***
Oleh : Ampuan Situmeang
Praktisi Hukum, Berdomisili di Batam
Praktisi Hukum, Berdomisili di Batam