Oleh: Ica Wulansari*
Awal tahun 2014, Indonesia membuka lembaran perjalanannya dengan serangkaian bencana. Diawali dari musibah erupsi Gunung Sinabung di Sumatera Utara, banjir bandang di Manado dan terjadinya curah hujan dengan intensitas yang tinggi di beberapa kawasan di Indonesia. Maka setiap musim penghujan, bencana banjir dan longsor tidak terhindarkan.
Banjir terjadi tidak hanya terjadi di ibukota Jakarta, namun melanda kawasan Pantura sehingga mengakibatkan kemacetan dan menghambat distribusi barang dan jasa. Kawasan Pantura menuju Kudus dan Pati pun terputus akibat banjir. Cuaca ekstrem yang ditandai dengan curah hujan yang tinggi mengakibatkan ternak ikan maupun hasil pertanian pun mengalami penurunan.
Masalah terkait lingkungan hidup belum dapat disandingkan dengan ancaman teroris ataupun isu keamanan lainnya. Sementara ancaman lingkungan hidup berdampak terhadap banyak hal. Jakarta yang menjadi kawasan langganan banjir apabila curah hujan tinggi seringkali menghadapi dampak akibat banjir.
Yang menjadi masalah klasik yaitu kemacetan, akses jalan yang tertutup akibat banjir maka berdampak terhadap kegiatan ekonomi. Selain itu, tingkat kenyamanan hidup pun mengalami penurunan. Akibat banjir, pengguna transportasi Kereta Rel Listrik (KRL) mengalami kendala dengan dampak terburuk tidak dapat menggunakan KRL akibat stasiun tergenang banjir.
Pengguna jalan raya, yang saat ini umumnya menggunakan kendaraan bermotor bersikap tidak tertib sehingga menimbulkan kesemrawutan di jalan raya yang memperparah dampak banjir. Selain itu, warga menjadi amat mudah gelisah apabila masa penghujan tiba. Cemas apabila tidak dapat sampai ke tempat aktivitas hingga kegelisahan menghadapi ancaman banjir.
Maka, banjir pun tidak dapat lagi dipandang sebagai isu lingkungan hidup biasa. Karena intensitas banjir yang terjadi berulang kali akan berdampak terhadap kehidupan ekonomi dan sosial. Maka sudah selayaknya permasalahan banjir, longsor, deforestasi maupun dampak-dampak negatif akibat kerusakan lingkungan hidup maupun bencana alam menjadi hal yang patut dipertimbangkan dalam aspek keamanan dalam negeri.
Keamanan menekankan pada nasib manusia, mengenai pengejaran kebebasan dari ancaman. Mengenai cara bertahan, tetapi juga termasuk kondisi yang mendukung keamanan. Keamanan menyentuh nasib sekelompok manusia dan menyentuh keamanan personal menyangkut kehidupan manusia secara individual (Buzan, 1991).
Persepsi ancaman terhadap lingkungan hidup dapat dilakukan oleh negara. Maka negara menjadi aktor yang penting karena negara harus bertanggung jawab atas pemeliharaan ekosistem (Eckersley, 2007). Maka negara harus merumuskan dan memiliki konsep mengenai persepsi ancaman lingkungan hidup.
Di Indonesia ancaman lingkungan hidup seperti apa yang masuk dalam indikator ancaman terkait skala waktu dan dampak. Sehingga negara seharusnya memiliki badan maupun lembaga kajian khusus mengenai keamanan lingkungan hidup.
Lembaga kajian khusus berupaya melakukan pengawasan dan pencatatan terkait ancaman lingkungan hidup yang kemudian dapat mengeluarkan skala prioritas ancaman lingkungan yang mana yang mendapatkan penanganan lebih awal terkait skala dampak terhadap masyarakat.
Apabila lembaga kajian khusus terbentuk, maka selain membuat cetak biru mitigasi bencana juga memberikan penyuluhan kepada lapisan masyarakat terkait ancaman lingkungan hidup. Acara penyuluhan pun dapat berperan ganda sebagai upaya menghimpun masukan dari kalangan masyarakat.
Apabila masyarakat sudah mampu mengenali ancaman lingkungan hidup maka masyarakat pun dapat mengadu ataupun mengeluh. Namun sebelum aduan masyarakat terjadi, maka diperlukan mekanisme untuk menampung aduan, keluhan dan saran dari masyarakat. Sehingga dalam menghadapi ancaman lingkungan hidup pemerintah dan masyarakat menjadi mitra. Maka tindakan saling menyalahkan apabila terjadi bencana, sudah seharusnya diganti dengan budaya kemitraan dan saling tanggap bencana, tanpa harus menunggu pemerintah bertindak. Namun negara berkewajiban memfasilitasi sehingga masyarakat tanggap dan terlatih terhadap bencana.
Selain itu, perlu upaya memasukkan materi tanggap bencana dalam kurikulum sekolah menengah. Bencana ataupun ancaman lingkungan hidup bisa terjadi pada siapa saja dan kapan pun, maka sedari dini perlu ditanamkan kesadaran hidup di daerah rawan bencana.
Manajemen evakuasi gempa dan banjir diberlakukan di sekolah berbasis kurikulum internasional. Maka seharusnya kurikulum nasional pun memuat manajemen mitigasi bencana dimulai dari lingkungan sekolah. Sehingga masyarakat terbiasa sejak dini dengan penanganan mitigasi bencana. Sehingga ketika banjir menggenangi, apabila tim relawan melakukan evakuasi, masyarakat paham dan dapat bekerja sama dengan baik dalam upaya evakuasi.
Apabila ancaman lingkungan hidup tidak ditangani dengan baik, maka potensi konflik pun tidak terhindarkan. Tentu kita tidak mengharapkan muncul konflik terlebih dahulu kemudian melakukan pembenahan, maka tindakan pencegahan lebih baik untuk dilakukan. Penanganan bencana ataupun dampak dari kerusakan lingkungan hidup apabila tidak tertangani dengan baik dan cepat maka akan menimbulkan masyarakat yang frustasi. Apabila frustasi muncul, maka konflik dan dampak lebih buruk tidak terhindarkan.
* Penulis adalah pemerhati lingkungan dan pengajar di Universitas Budi Luhur