Banyak pendaki gunung ternama
memulai petualangannya sejak masih belia, taruhlah, sejak SMA atau di bangku
kuliah, tapi tidak demikian dengan Clara. "Banyak yang menyangka, saya
dulunya anak MAPALA atau apalah yang berbau gunung," ujarnya tertawa.
Padahal, ketika kuliah di Unika Atmajaya Jakarta, Clara adalah wanita kalem
yang tak suka keluyuran, apalagi naik gunung.
Tapi rupanya Clara cukup rajin mengamati
berita - berita tentang pecinta alam ( baca: pendaki gunung ) yang keluar dari rel.
'Saya dengar banyak yang tidak konsisten pada misi mencintai alam. Lebih dari
itu, nafsu mendaki tanpa disertai kesabaran dan bekal yang cukup membuat banyak
pendaki malah mengalami nasib naas di gunung," paparnya lancar.
Rentetan berita tentang pendaki yang hilang, terjatuh dan mati sering membuatnya prihatin. Lambat laun mulai mempengaruhi jiwanya.
Baarangkali termasuk terlambat.
Tapi karena sudah lulus kuliah dari Fakultas Psikologi, tahun 1990 Clara mendaftarkan
diri pada kelompok pendaki gunung Putri Patria. Tes masuk yang cukup berat, ia
bersaing dengan orang - orang yang sudah tahunan mendaki gunung di hadapan Clara
dengan ngos - ngosan.
Tapi setelah bergabung, tak pelak
lagi, Clara mulai terhitung pendaki gunung yang tangguh menjajal gunung - gunung
kelas kakap dunia. Sejak tahun 1990, Clara telah menggapai antara lain Gunung
Gede, Gunung Pangrango, Gunung Rinjani, Gunung Soekarno di Irian Jaya, Annapurna
IV di Nepal, Aconcagua ( 1993 ), dan Everest.
Seabrek cerita tentang beratnya
latihan ( fisik dan mental ) lantas meluncur dari wanita yang bicaranya masih
kental dengan aksen Jawa ini. "Digenjot fisik di Senayan, latihan mental
di Gede - Pangrango. Pokoknya, selama di Indonesia saya jalani latihan sangat
berat sebelum mendaki ke luar negeri," ungkapnya bersemangat.
Clara Di Nepal |
Ini membuat posturnya memang jadi
perkasa. "Rekan - rekan dan pelatih saya kebanyakan pria. Tak masalah,
soalnya saya bisa mengimbangi mereka. Tuturnya kalem. Buktinya pada pendakian
Everest tahun 1994 ( yang akhirnya gagal ) Clara tidak kalah dari pria - pria kuat dari
Angkatan Darat.
"Memang lebih enak mendaki dengan pria," katanya
tersenyum penuh arti. "Mereka lebih rasional dan logikanya tetap stabil berjalan,
meski didera tantangan alam yang maha berat saat mendaki. Kalau wanita lebih
emosional. Kebayangkan, dalam kondisi berat begitu lantas timbul percekcokan.
Ini bisa jadi penyebab kegagalan," katanya serius.
Bicara tentang kiprahnya sebagai
pendaki gunung, Clara mengaku banyak
dipengaruhi kecintaannya pada alam sejak kecil.
Lahir dan dibesarkan di
Yogyakarta, sejak kecil Clara, anak ke enam dari delapan bersaudara ini sering
diajak ayahnya seorang guru, berpiknik bersama. "Ayah saya tidak mengajak
ke tempat - tempat perbelanjaan seperti anak - anak zaman sekarang.
Kami dibawa ke pantai, naik kapal
mengarungi laut, kadang ke gunung. Disana beliau banyak cerita. Ya kecintaan
saya pada alam memang sudah terpupuk sejak kecil," papar Clara yang kini
tinggal di Mantrijeron Yogyakarta.
Clara Di Puncak Aconcagua |
Tambahan lagi, Clara bukan gadis
kecil yang manis dengan mainan boneka dan pernak - pernik wanita, mainannya
justru kelereng, layangan dan ketepel! "Tiap sore saya selalu memanjat
pohon tinggi dan menikmati angin di situ," Clara tersenyum kecil.
Namun semua itu tidak
menghasilkan sesuatu yang ekstrem, seperti jadi tomboy sejati atau petualang.
"Tidak, saya tetap seorang yang mengikuti garis aturan keluarga. Kenakalan
saya sejak kecil meluntur seiring bertambahnya usia. Makin besar, meskipun
kecintaan pada alam tetap besar, saya mulai menjauh dari interaksi langsung dengan
alam," katanya lagi. Sampai akhirnya ia hijrah ke Jakarta, kuliah di
Atmajaya, lantas terantuk kembali pada hasratnya sejak masa kanak - kanak.
Bagaimana tanggapan keluarga terhadap profesi Clara yang cenderung riskan untuk wanita ini? Sambil menghela nafas
panjang ia berujar, "Sedih Ibu saya sempat terpukul. Siapa sih yang ingin
anak perempuannya naik turun gunung dengan taruhan nyawa?" Namun
dengan berbagai cara untuk meyakinkan ibunya, restu itu keluar juga.
"Saya katakan pada Ibu, buat
saya mendaki gunung bukan untuk berpetualang. Saya memiliki maksud terndiri.
Ingin tahu bagaimana mendakinya, dan menurunkan ilmu mendaki pada orang
lain," katanya.
Clara Di Everest |
Sang Ibu pulalah yang akhirnya dengan mengharu biru’ mendampingi putrinya menerima
penghargaan dari Presiden Soeharto. "Sekarang ia bangga pada saya," ucap
Clara berbinar.
Apa Sih Yang Dicari Clara?
Sementara
banyak wanita masa kini berbondong - bondong memacu diri dalam aneka potensi bergengsi,
Clara malah berkutat dengan gunung. Bagi Clara bersahabat dengan alam, termasuk
melakukan pendakian, bukanlah semata untuk memenuhi kepuasan pribadi.
"Alam mengajarkan banyak hal panting buat manusia," katanya
berfalsafah.
Bukan hanya menguji keperkasaan
fisik yang disebut Clara sebagal bumerang yang sering menggagalkan upaya para
pendaki, tapi lebih pada ujian mental, melatih ketekunan, kecekatan, serta
kemampuan berpikir seseorang.
"Banyak orang yang berasumsi
bahwa pendaki identik dengan ujian kekuatan fisik," ujar Clara. "Itu
benar. Tapi fisik hanyalah faktor pendukung. Banyak sekali pendaki yang hanya
mengandalkan kekuatan fisik semata. Ia berupaya dengan nafsu mendaki sampai di
puncak, kadangkala tidak disertai rasio. Banyak yang berhasil sampai puncak,
tapi banyak juga yang bernasib naas. Yang seharusnya fisik mereka tidak
memungkinkan atau cuaca jelas - jelas tidak mendukung, ya, diterjang juga.
Padahal alam itu tidak bisa di lawan," mimiknya tampak serius.
Clara Di Mantrijeron Yogyakarta |
Sedangkan bagi Clara, "Saya
hanya melatih diri sendiri, tanpa punya maksud mencari kejayaan. Dalam banyak
pendakian sering saya mengalahkan ego untuk buru - buru sampai di puncak. Saya
lihat kondisi cuaca, diri sendiri dan juga keselamatan orang lain seperti rekan
dalam tim, sherpa, pengangkut dan lain - lain. Pendeknya, saya mendaki dengan
rasio. "
Pada akhirnya puncak gunung
bukanlah tujuan satu - satunya, justru kepuasan melewati proses sulit dan
memperoleh 'ilmu' dari alam. Itulah sebabnya Clara tak berambisi mencari
tantangan dan tantangan lagi, "Sesuai komitmen saya, hanya ingin tahu dan
belajar," cetusnya cepat.
Lantas untuk apa semua itu ia
jalani, kalau pada akhirnya hanya keingintahuannya yang sudah terpenuhi?
Rupanya Clara punya rencana besar.
"Sebagai manusia dan wanita,
saya tentunya tak Ingin terbelenggu hobi yang satu ini. Rasional saja. Saya
Ingin punya pekerjaan yang bisa menjamin hidup saya. Namun saya tetap
memanfaatkan background saya sebagai psikolog dan pendaki gunung," ucapnya
pasti. ( Dokumentasi Clara Sumarwati )