Akhir Juni lalu, dalam jurnal ilmiah Nature Climate Change, peneliti Belinda Margono dan Hansen dkk mengungkapkan laju deforestasi di Indonesia 2000-2012 mencapai angka 6,02 juta hektar atau pertahunnya terjadi peningkatan 47,6 ribu hektar. Studi ini juga memperkirakan pada tahun 2012 Indonesia kehilangan hutan alam seluas 840 ribu hektar atau dua kali lipat laju deforestasi di Brasil yang hanya 460 ribu hektar di tahun yang sama.
Studi ini juga mengungkapkan hilangnya tutupan hutan juga terjadi di hutan dataran rendah atau 43 persen total deforestasi ini berlangsung di lahan basah termasuk gambut. Jika diambil angka rata-rata, maka sekitar 217 ribu hektar hutan alam lahan basah Indonesia hancur setiap tahunnya.
Pemerintah Indonesia kebakaran jenggot dan membantah studi ini dengan menyatakan bahwa perbedaan dalam definisi deforestasi membuat angkanya jauh berbeda. Hadi Daryanto, Sekretaris Jenderal Kemenhut mengatakan perhitungan Hansen dan Kemenhut memiliki cara pandang yang beda. “Kalo perbedaan perubahan land cover, forest cover,besar, kalo deforestasi hutan sama, ga jauh beda kan.” Apa tanggapan terhadap riset ini? “Rugikan image Indonesia. Apalagi dibilang kado pahit.”
Heru Prasetyo, Kepala BP REDD+. Heru mengatakan studi Belinda dkk ini telah memberikan perbandingan yang mudah terhadap data deforestasi pemerintah, yakni “satu telanjang” dan satu ditutupi.“Saya akan percaya data Kemenhut jika mereka sudah bekerja transparan. Sampai sekarang, Kemenhut bekerja secara internal. Kita hanya tahu hasil, tetapi tak tahu proses. Belinda melakukan semua terbuka.”
Lain halnya dengan Agus Punomo, Staf Khusus Presiden Bidang Perubahan Iklim dan Kepala Sekretariat Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) menilai penelitian dari Universitas Maryland Amerika ini terkesan bermuatan politis. “Alih-alih mengusulkan pelestarian hutan, artikel Belinda dkk memberikan argumen untuk membatalkan kebijakan moratorium yang membuka peluang diterbitkannya izin-izin pemanfaatan hutan di 63 juta hektar hutan primer dan lahan gambut yang masih baik. Dengan berbagai keterbatasannya, kebijakan moratorium kehutanan yang diberlakukan Presiden SBY telah menekan laju deforestasi dan nafsu mengobral izin pemanfaatan hutan di lingkup pemerintah daerah.”
Di lain pihak, Greenpeace menganggap studi ini sebagai panggilan mendesak. Penghancuran hutan yang meningkatkan emisi gas rumah kaca Indonesia, telah menyebabkan hewan seperti harimau sumatera menuju ambang kepunahan dan menciptakan kondisi kebakaran hutan dan bencana kabut asap yang dahsyat di Asia Tenggara.
“Penegakan hukum lemah dan bahkan taman nasional juga sedang dijarah – tetapi sekarang adalah saat untuk bertindak. Presiden Indonesia, SBY, memiliki kesempatan untuk memperkuat warisan hijaunya: ia akan mengambil tindakan segera untuk memperkuat hukum yang melindungi semua hutan dan lahan gambut kaya karbon sebelum masa jabatannya habis, ataukah akan ia melihat kebijakannya tersebut hilang ditelan asap?,”ujar Yuyun Indradi, Jurukampanye Hutan Greenpeace.
Terlepas dari pro-kontra ini, Mongabay Indonesia mencoba menyaksikan kerusakan di hutan-hutan alam yang kali ini dipusatkan di Riau. Apa sebenarnya yang terjadi di lapangan?
Usai pemilihan presiden pekan lalu, Mongabay Indonesia mendokumentasikan kerusakan hutan itu langsung ke lokasi dan berikut adalah foto-foto deforestasi yang dilakukan perusahan pulp and paper di Pulau Padang, Riau dan penjarahan kayu alam oleh masyarakat di Suaka Margasatwa Kerumutan, Pelalawan, Riau.