Sampah yang langsung dibuang di sungai. Foto: Ridzki R. Sigit |
Kondisi ruang terbuka biru kawasan Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi) kian memprihatinkan. Tidak hanya luasannya yang berkurang, jumlahnya juga menyusut. Padahal, ruang terbuka biru (RTB) ini memiliki fungsi vital sebagai pencegah banjir di kala penghujan dan lumbungnya air saat kemarau.
Guru Besar Manajemen Lanskap Departemen Arsitektur Landskap Institut Pertanian Bogor (IPB), Hadi Susilo Arifin, menuturkan bahwa penurunan kualitas dan kuantitas RTB ini disebabkan maraknya pembangunan perumahan, gedung, dan alih fungsi lahan yang tidak memperhatikan kelestarian lingkungan. Kondisi buruk inilah yang menyebabkan terjadinya bencana alam seperti banjir, tanah longsor, maupun kekeringan di Jabodetabek.
Hadi menjelaskan, keberadaan RTB di Jabodetabek sudah ada saat Belanda berkuasa di Indonesia dengan dibangunnya 800 waduk. Namun, dalam dua dekade terakhir, jumlahnya berkurang drastis. Terhitung dari awal 1980 hingga tahun 2000 ini hanya terdata 200 waduk. Rinciannya adalah Kabupaten Bogor (95 waduk), Kota Bogor (6 waduk), Kota Depok (20 waduk), Kabupaten Tangerang (37 waduk), Kota Tangerang (8 waduk), DKI Jakarta (16 waduk), Kabupaten Bekasi (14 waduk), serta Kota Bekasi (4 waduk). Sayangnya, sekitar 80 persen waduk tersebut dalam keadaan rusak, dangkal, dan berubah jadi perumahan.
Padahal, aturan pengelolaan RTB sudah jelas. Ada UU Nomor 23/1997 tentang Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU Nomor 7/2004 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, UU Nomor 26/2007 tentang Penataan Ruang, serta Permendagri Nomor 1/2007 tentang Penataan RTH Kawasan Perkotaan. “Untuk itu, tata ruang Jabodetabek harus ditinjau kembali,” ujarnya.
Hadi mencontohkan pentingnya memaksimalkan peran RTB. Kota Bogor misalnya, yang dilintasi Sungai Ciliwung, seharusnya kota hujan ini bisa menjadi daerah dengan potensi sumber daya air melimpah. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa badan permukaan air di sungai tersebut mengalami gangguan akibat reklamasi, perubahan lahan, juga pencemaran. Dampaknya, untuk kasus banjir di Jakarta, Ciliwung selalu disalahkan dan dianggap biangnya kejadian ini.
Harusnya, Sungai Ciliwung dapat dimaksimalkan kegunaannya sebagai penyedia air maupun untuk estetika lingkungan. ”Di sini, peran manajemen RTB diperlukan guna merehabilitasi, merevitalisasi, hingga menaturalisasi waduk, danau, juga bantaran sungai agar perlindungan tata air dan tanah berjalan baik.”
Kawasan Tebet. Banjir besar di Jakarta, pada Januari 2013. Foto: Greenpeace |
Berkaca dari luar negeri
Bila berkaca dari beberapa kota di negara bagian Michigan, Amerika Serikat, seperti Detroit, Lansing, dan Bay City, tentunya Indonesia tertinggal jauh. Memang, sekitar tahun 1950-an hingga 70-an jumlah danau di kota tersebut berkurang akibat maraknya pembukaan lahan untuk pertanian, pertambangan, hingga pembangunan jalan tol dan vila.
Namun, Pemerintah Michigan tanggap dengan mengeluarkan aturan “Part 303 of Michigan’s Natural Resources and Environmental Protection Act” tentang perlindungan dan pelestarian kawasan lahan basah. Para pemilik rumah di pinggiran kota yang memiliki luas tanah tiga hingga lima hektar “diwajibkan” pula menjaga lahan basahnya. Hebatnya, para pemilik tanah ini mendukung dan bangga memiliki lahan basah yang luas. Hal positifnya adalah selain jumlah lahan basah bertambah, kolam atau rawa yang membeku saat musim dingin tiba dapat dijadikan sebagai arena berseluncur. Kini, Michigan dikenal sebagai kota danau dan lahan basah yang indah.
Begitu juga dengan Kota Hanoi, Vietnam. Hanoi yang berarti kota dalam sungai ini memiliki bentangan danau yang memesona mata di sudut-sudut kotanya. Pertokoan, perumahan, perkantoran, dan perhotelan dibuat menghadap ke muka danau. Sehingga, panorama alami danau yang sudah ada benar-benar dioptimalisasi keberadaannya tanpa harus merusaknya.
Menurut Hadi, Indonesia khususnya Jabodetabek dapat melakukan hal itu. Caranya dengan mengelola RTB secara berkelanjutan. Dengan begitu, kita tidak hanya memiliki kesempatan untuk mengkonservasi sumber daya air dan keragaman hayati yang ada. Lebih dari itu, kita juga dapat meningkatkan serapan karbon, menjaga efek pendinginan udara setempat, hingga bisa mengelola sumber daya air sebagai sumber tenaga listrik terbaharui. “Bahkan, menjaga keindahan bentang alam yang sudah sepatutnya dinikmati.”
Ruang terbuka biru merupakan hamparan badan air mulai dari unit terkecil di pekarangan rumah seperti kolam, balong, atau empang hingga skala besar seperti embung, danau, waduk, aliran irigasi, drainase, kanal, dan sungai. Minimnya pengawasan dan buruknya pengelolaan membuat potensi biru ini mengkhawatirkan