Muhammad Ichsan's with friends |
Pagi yang indah, sejuk, daun-daun bergerak kesana kemari mengikuti arah angin, manambah suasana nyaman di sekret kami. Suasana di sekret Mapala Cikara Bhuana Teknik Pertambangan Unsri memang selalu penuh dengan keakraban dan canda gurau antar sesama anggota. Berawal dari canda gurau itu pulalah yang mempererat tali kekeluargaan di antara kami. Hari ini, Kamis September 2012. Suasana di jurusan teknik pertambangan Unsri waktu itu sedang di sibukkan dengan kegiatan ospek (Opdik) penerimaan mahasiswa baru, adik-adik tambang yang baru. Dalam senggang menunggu masa-masa aktif kuliah, kami pun tak ingin waktu itu hanya terbuang begitu saja, berlalu tanpa beda dan tanpa makna, maka dalam suatu obrolan di Pondokan yang terletak di depan sekret kami, kadiv (kepala divisi) RG (Rimba Gunung), Dheo Pranajaya mempunyai rencana untuk mengadakan ekspedisi atau perjalanan untuk menapaki gunung Siminung, hingga puncaknya. Mumpung belum aktif kuliah, di samping mengisi waktu, sekalian menambah ilmu dan pengalaman melalui kegiatan yang positif, naik gunung adalah solusinya. Tak butuh waktu lama untuk mengumpulkan anggota-anggota yang akan berangkat melangkah bersama menapaki Gunung Siminung hingga ke puncak menjulang. Akhirnya terkumpullah 8 orang anggota yang akan mengikuti ekspedisi ini, membentuk satu tim ekspedisi yang terdiri dari Dheo Pranajaya, Jefri Hansen Siahaan, Ari Saputra, Andi Ahmad, Rizki Setiawan, Muhammad Ichsan, Rico Wanardijaya, dan Robby Wijaya. Persiapan pun dilakukan, barang-barang dan segala keperluan, mulai dari logistik, perlengkapan, pakaian, dan tak lupa perlengkapan P3K, semuanya kami packing dengan rapih. Kamis malam, semua persiapan telah selesai dilakukan, dengan 3 carier yang berisi padat bawaan, dan satu daypack, kami siap berangkat.
Dalam hangatnya sinar mentari pagi, Jumat, 7 September pukul 08.45, di depan kampus Universitas Sriwijaya. Kami menunggu bus pesanan yang akan menjemput kami. Selang kurang lebih sepuluh menit kami menuggu, akhirnya bus pun datang, dan Tim Ekspedisi Siminung dilepas oleh Ketum (Ketua Umum) Cikara Bhuana, dan beberapa orang anggota lainnya dari depan Kampus Universitas Sriwijaya. Kami sesama anggota saling berjabat erat, memberikan semangat dan mendoakan untuk misi keberangkatan tim Ekspedisi Siminung. Dalam iringan doa dan semangat, kami berangkat! Gunung Siminung merupakan gunung yang terletak di perbatasan antara Provinsi Sumatera Selatan dan Provinsi Lampung. Gunung ini tepatnya terletak di antara kecamatan Sukau, kabupaten Lampung Barat, Provinsi Lampung dan kecamatan Ranau, Provinsi Sumatera Selatan. Setelah menempuh perjalanan selama 7 jam, akhirnya tim ekspedisi tiba di desa Kota Batu, Ranau. Pesona alam dan begitu kentalnya adat istiadat dan budaya di sana sudah menjadi suatu hal yang tak bisa dipungkiri. Untuk bisa sampai di kaki Gunung Seminung, kita harus menyeberangi Danau Ranau dengan menggunakan perahu ketek. Tak sulit untuk mendapatkan angkutan penyeberangan, karena warga di sana banyak memiliki perahu ketek sebagai alat transportasi dan alat untuk mencari nafkah di danau. Setelah mengambil beberapa gambar di pelabuhan desa, kami berangkat menyeberangi danau. Lima belas menit perjalanan kamipun tiba di pelabuhan Danau Ranau, yang telah dijadikan tempat wisata pemandian air hangat. Soal indah dan sejuknya pemandangan alam di Danau Ranau, tidak perlu diragukan lagu. Dikelilingi dengan bukit-bukit hijau yang menjulang, menjadi pagar alami untuk danau ini. Namun sayang, seperti yang kami lihat saat itu, tempat wisata pemandian air panas di sana tampak kurang terawat, namun untuk kolam pemandian air hangat disana, masih layak untuk digunakan.
Gunung Seminung |
Setelah menemukan tempat camp yang cocok, dua dome pun didirikan. Kami saling berbagi tugas saling bahu-membahu. Hingga larut malam kami bercengkrama ngalor-ngidul ke sana kemari, hingga mata kami tak kuasa untuk menahan kantuk. Pukul 05.30 sudah ada beberapa anggota yang terbangun, sholat subuh didirikan, namun juga masih banyak yang terlelap dalam hangatnya kain dome. Kami bergegas, dan kembali bersiap-siap, kembali meringkas semua keperluan dan peralatan yang dibutuhkan. Sesuai dengan instruksi kadiv, bahwa kami tidak sampai nge-camp di puncak, karena di atas sana tidak ada tempat yang pas untuk ngecamp, dikarenakan bentuk daerah di atas sana tidak ada permukaan yang rata. Tepat pukul 08.00 pagi semua perlengkapan telah siap. Kami berdoa sebelum berangkat mendaki, semua keperluan telah siap, namun tak semuanya kami bawa ke atas, karena kami akan langsung turun hari ini juga. Dua carier yang berisikan peralatan yang tidak begitu kami perlukan, kami titipkan di salah satu rumah warga di kaki gunung. Dengan satu carier dan satu daypack di punggung, kami berangkat dengan penuh semangat. Satu setengah jam sudah kami berjalan menanjak, kami mulai ngos-ngosan, jantung kami berdegup cepat, keringat kami mengucur deras, satu botol air minum telah habis. Kami terus melangkah, membawa carier dan daypack secara bergantian, saling menyemangati satu sama lain, saling menunggu, saling bercanda tawa. Hingga dua jam perjalanan, akhirnya kami tiba di Shelter 1, ada musahala di sana, sama sekali tak terawat, berantakan, penuh debu, tiada air untuk berwudhu, apa lagi untuk minum. Dari papan nama yang tergantung di musahala itu, kami , mengetahui Mushala itu bernama Darul Muttaqin, sebuah mushala yang mungkin dulu di bangun oleh warga yang tinggal di sekitar kaki gunung seminung tersebut, kami juga tak tahu, kami hanya bisa menduga-duga. Disana, kami sedikit melepas lelah dan kepenatan. Jalurnya curam, tenaga kami banyak terkuras, dari 6 botol yang kami bawa, 2 botol air minum telah kosong. Padahal, carier yang kami bawa telah kami kurangi, tapi masih tetap terasa berat, bukan karena tak sanggup, tapi demi efisiensi tenga dan waktu, akhirnya yang 1 carier yang rencananya kami bawa ke puncak, kami titipkan di mushala itu, rain coat, jaket, dan beberapa peralatan yang tidak kami perlukan, akhirnya kami tinggalkan. Hanya logistik, Obat P3K, dan peralatan penting lainnya yang kami bawa. Hanya satu daypack besar dan beberapa daypack kecil, kami kembali melangkahkan kaki. Jalur curam, suara jangkrik dan hewan rimba lainnya sesekali kami dengar dalam iringan langkah. Dedaunan dan pepohonan pun bergemerisik, berderik dalam tiupan angin. Lelah, pasti. Napas kami, tersengal-sengal. Kami terus berjalan bermandikan peluh keringat, hanya semangat dan keyakinan yang menguatkan kami untuk terus melangkah, melangkah dan terus melangkah. Udara dingin mulai terasa, semakin kami melangkah naik semakin terasa. Badan kami panas oleh keringat, tapi udara dingin mebasuh kami dari luar. Dari sela-sela pepohonan dan lebatnya hutan di lereng Seminung, kami dapat melihat betapa indahnya pemandangan Danau Ranau dan kota-kota disekitarnya yang terhampar bak lukisan, begitu indah. Tapi perjalanan belum selesai, sudah lewat tengah hari, kami belum mencapai puncak. Kami istirahat sejenak, kemudian kembali melangkah, terus mendaki, menghantam tanjakan, malangkahi pohon-pohon yang tumbang di tengah jalur. Kami melangkah dan terus melangkah, hingga akhirnya pohon tumbang, semak belukar, bukan halangan yang akan menyurutkan langkah kami untuk sampai di puncak. Setelah enam jam perjalanan, tepat pukul 02.00 kami sampai di puncak. Azan pun langsung dikumandangkan. Suasana khusyuk, syukur, dan takjub bercampur menjadi satu. Kami saling berjabat tangan mengucapkan selamat, satu sama lain. Pemandangan hutan dan pepohonan terhampar luas, terlihat kecil dari atas sana. Kami tidak terlalu lama di puncak. Setelah mengambil beberapa gambar, dan istirahat sejenak, kami langsung melanjutkan perjalanan pulang, menuruni gunung, menapaki kembali jalur pendakian kami tadi.
Perjalanan masih berlanjut, kali ini dengan beban yang lebih ringan, tapi di tengah perjalanan salah satu anggota kami sandalnya putus, sedikit cidera di kaki, jadi perjalanan turun menjadi agak pelan. Akhirnya, tim di pecah menjadi dua, 4 orang duluan turun dengan langkah cepat, dan 4 orang lagi mengimbangi salah seorang anggota yang cidera. Tim yang turun terlebih dahulu melangkah dengan setengah berlari, mengejar sampai di bawah saat sebelum matahari tenggelam. Akhirnya tim pertama samapai di bawah pas saat azan magrib berkumandang, pukul 18.10. Setelah mengambil barang yang dititipkan tadi, anggota tim satu langsung kembali menyiapkan tenda. Dua tenda di tegakkan. Kopi hangat di seduh, sembari menunggu tim 2 sampai di bawah. Selang waktu satu setengah jam, akhirnya tim 2 sampai di bawah dengan selamat dan lengkap. Lelah, namun menyenangkan. Kami bersama melepas letih di pemandian air hangat danau ranau. Suasana keakraban begitu terasa, hingga akhirnya malam semakin menjelang, letih tubuh sudah tak tertahankan.
Minggu pagi, kami kembali bersiap, bergegas untuk kembali ke Inderalaya. Pukul 09.00 kami berangkat dari Desa Kota Batu dengan menggunakan bus yang telah kami pesan di malam sebelumnya. Sungguh perjalanan yang melelahkan, dan menyenangkan tentunya. Kami pulang dengan menggenggam “Rimba” penuh semangat yang terus mebara.