Pendaki Gunung Indonesia |
Berkilo-kilo meter kamu melangkah, dengan beban berat di pundak, peluh di dahi, nyeri di kaki, dan resiko tak bisa kembali, apa yang sebenarnya kamu cari?
Jepretan di puncak berlatar belakang lautan awan?
Cerita hebat untuk dibawa pulang?
Atau pasang mata yang menatapmu kagum tak percaya?
Pendakian bukan cuma ajang eksis numpang foto di puncak, dengan wajah sumringah di sebelah papan reyot sekian ribu mdpl,dengan siluet matahari di balik badan. Jadi sekali lagi kutanyakan, apa yang kamu cari kawan? Tak ada yang hebat dari sebuah pendakian.
Sebaliknya, bodoh.
Iya, cuma orang bodoh yang memilih untuk tidur beralas matras dibanding beralas kasur empuk berselimut tebal. Yang memilih untuk kedinginan dibanding bernyaman ria dengan sejuknya AC atau hangatnya selimut tebal. Yang memilih untuk makan nasi keras belum tanak dibanding nasi pulen mengepul dengan lauk pauk berupa-rupa. Yang memilih untuk memikul beban seberat bocah balita dibanding goleran di depan TV atau berkumpul riang dengan teman sekawan. Cuma orang bodoh yang mau meninggalkan nyamannya rumah dan malah memilih menerjang hutan menerabas bahaya. Sekali lagi ku katakan, tidak ada yang hebat dari sebuah pendakian. Jadi, apa yang kamu cari? Jika kau bertanya apa sebabku mendaki, aku (pun) bingung. Ada banyak kemungkinan dalam benakku, Mungkin, karena pribadi-pribadi unik dan hebat yang ku temui, karena kebaikan yang kuterima dengan kadang tak habis pikir, karena persahabatan tulus yang ku bawa pulang. Mungkin, karena teriakan ‘semangat’ atau ‘ayo, sedikit lagi’ atau sekadar senyum tulus pemberi semangat dari sesama pendaki yang baru kenal. Atau mungkin karena kesetiakawanan yang kusaksikan, yang buatku acap kali bertanya pada diri kenapa tak cukup peduli. Mungkin juga karena rindu pada momen dan pengalaman yang (akan) kutertawakan kemudian. Seperti saat aku dan dua temanku harus tidur berhimpitan dalam tenda yang seharusnya muat untuk seorang. Bahkan untuk menoleh saja susah!
Saat rombonganku (manusia kelaparan) makan berjamaah dalam dua saf berhadapan ditengahi kertas nasi. Berebut ikan sarden, tempe orek, dan terasi yang nikmatnya melebihi nasi kepul dan ayam gulai di warung padang favoritku. Sambil berceloteh riang dengan mulut penuh dan tangan saling beradu. Saat rombonganku kehabisan air, sehingga kami menjilati sisa air hujan di dedaunan demi membasahi tenggorokan.
Saat aku dan temanku berlomba menertawakan siapa yang jatuh terjerembap duluan. Atau mungkin karena teater di langitnya, yang selalu berhasil membius dan buatku enggan berhenti menatap, yang selalu buatku merasa seperti pujangga. Kala malam, langitnya hening dengan seratus, seribu, atau mungkin sejuta bintang. Buatku menduga-duga mana gerangan bintang yang namanya serupa denganku. Kala senja, langitnya begitu magis dengan bias jingga keemasan nan romantis. Yang semburatnya seakan membelaiku, berkata bahwa hari ini baik-baik saja dan hari esok yang lebih baik menantiku. Kala pagi, langitnya begitu syahdu dengan bola api emas merangkak dengan gagah yang buat semangatku gegap gempita. Langit di kala pagi yang perlahan mencerah menggantikan pekat, seiring dengan rasa hangat yang perlahan menjalar menggantikan dingin, buatku merasa seperti sosok yang baru. Layaknya halaman baru yang siap ditulisi oleh berbagai petualangan seru. Kala siang, langitnya biru bersih dengan sapuan kuas putih yang kadang terlihat seperti kapas empuk atau lukisan abstrak nan indah. Buatku tersenyum, melupakan peluh yang menetes, dan buatku kembali melangkah dengan riang. Atau mungkin juga karena rimbanya. Yang dari jauh terlihat seperti barisan bukit hijau yang sambung menyambung menyejukkan mata, atau serupa gundukan cokelat gersang yang angkuh, buat nyaliku ciut. Rimbanya, Terkadang berupa jajaran pinus berbaris rapi dan rapat seperti serdadu perang, atau deretan cemara yang menjulang lancip. Kadang pula berupa belukar rapat dan lembap yang buatku takut tersesat, atau semak gersang dengan tanah pasirnya yang beterbangan jika kau lewat dan buatmu megap. Atau terkadang berupa padang rumput luas yang kering dan eksotis kala kemarau datang, atau padang edelweiss yang tak ada kata lain yang pantas menggambarkannya kecuali …. i n d a h. Atau mungkin juga karena air terjun yang tersembunyi di balik rimba, bak tuan putri pemalu yang menunggu anggun. Mungkin juga karena aku bisa mengenal diriku lebih jauh di tengah rimba sana, di antara teman-teman yang baru ku kenal, di tengah usaha menyeret kaki yang terasa berat,entah karena medannya yang menanjak atau beban di pundak,dengan baju yang basah oleh keringat,di sana aku bisa mengenal diriku, mengevaluasi diri.
Apakah aku cukup peduli? Untuk memberi semangat pada teman seperjalanan padahal diriku juga tengah ngos-ngosan. Untuk menunggu teman yang tertinggal di belakang walau terasa lebih lelah jika berjalan lambat lambat. Untuk memasak demi mengisi perut-perut yang kelaparan. Untuk memungut sampah yang ditinggalkan orang-orang yang mengaku pendaki atau pecinta alam. Untuk turut membawa logistik kelompok walau pundak sudah teriak ingin memanggul daypack saja.
Apakah aku cukup peka?Untuk menyadari bahwa ada yang sedang mati-matian menahan dingin,ada yang sudah tidak sanggup berjalan,atau ada yang merasa tak nyaman.
Apakah aku sudah cukup bersyukur? Bahwa aku sanggup menahan dingin. Bahwa kakiku masih sanggup terus melangkah mencapai puncak. Bahwa rombonganku tidak terseret badai. Bahwa aku dan teman-teman selamat dan sehat walafiat. Bahwa aku berkesempatan untuk menikmati dan merasakan indah ciptaan-Nya. Bahwa aku dipertemukan-Nya dengan orang-orang yang luar biasa. Eh, maksudku teman-teman yang luar biasa
Apakah aku sadar diri? Bahwa aku begitu kecil dihadapan semesta. Bahwa aku tidak akan sanggup menaklukkan puncak dan kembali dengan selamat tanpa kehendak-Nya. Bukan cuma belajar mengenal diriku. Jauh di tengah belantara sana, aku juga belajar mengenal-Nya. Aku tak tahu pasti alasan mana yang menjadi sebab utamaku jatuh cinta pada pendakian. Yang pasti layaknya orang kasmaran, rasa rindu mendaki selalu menyelinap bahkan ketika kakiku masih di tengah belantara.
Sumber : Dari Teman sendiri. Entah dari Mana sumber aslinya