Oleh : Thomas, A.E. | Ketua Komunitas Peduli Mangrove |
Kita sering mendengar kata mangrove, namun mungkin masih banyak yang belum mengetahui secara jelas asal mula kata mangrove. Menurut informasi, bahwa kata mangrove berasal dari perpaduan antara bahasa Portugis ”Marque” dan bahasa Inggris ”Grove”. Secara umum mangrove diartikan sebagai formasi tumbuhan di pantai daerah tropis dan subtropis yang terlindungi. Mangrove tumbuh pada tanah lumpur alluvial di daerah pantai dan muara sungai yang dipengaruhi pasang surut air laut.
Hutan mangrove terdiri atas aneka pohon, seperti pohon bakau (Rizhopora), palma dan nipah (Nypa). Hutan mangrove juga merupakan habitat berbagai satwa liar, seperti primata, reptil, burung dan ikan. Selain sebagai tempat berlindung dan mencari makan, mangrove juga merupakan tempat berkembang biak bagi burung air dan berbagai jenis ikan, udang, kepiting dan berbagai satwa liar lainnya. Perairan mangrove merupakan tempat ideal untuk mencari makan, membesarkan anak dan tempat perlindungan dari ancaman predator lainnya.
Hutan Bakau Penjaga Pantai Kita
Mangrove merupakan ekosistem pendukung utama kehidupan di wilayah pesisir, karena selain sebagai habitat biota laut, juga berfungsi mengurangi dampak tsunami atau mangrove yang lebat dapat mengurangi volume air laut dari gelombang tsunami yang sampai kedaratan. mangrove juga sangat penting dan berfungsi untuk menahan tepian pantai atau pulau dari pengikisan ombak atau abrasi akibat terpaan ombak. Bahwa setiap pengrusakan mangrove, sangat berpotensi berkurangnya luasan kawasan daratan akibat abrasi.
Mangrove di Indonesia
Sesuai data dari Direktorat (Ditjen) Bina Pengelolaan Daerah Aliran Sungai dan Perhutanan Sosial (BPDAS-PS) Kementerian Kehutanan bahwa luas mangrove di Indonesia pada tahun 2006 sekitar 7,76 juta hektare dan dari luas tersebut, sekitar 5,38 hektare (69,33%) telah mengalami kerusakan.
Hutan bakau atau mangrove di Indonesia, sebagian besar terdapat disepanjang garis Pantai Timur Sumatera (Selat Malaka), Pantai Barat dan Selatan Kalimantan serta di Pantai Barat Daya Papua. Mangrove di Kawasan Selat Malaka sebagian besar berada di Wilayah Administratif Kabupaten / Kota pada Provinsi Sumatera Utara, Riau Kepulauan, Riau dan mangrove di Kawasan Selat Malaka juga telah mengalami kerusakan sekitar 80%.
Saat ini di Indonesia, mangrove tumbuh di daerah pantai sekitar 257 kabupaten/ kota. Pada lahan 2009, dengan menggunakan analisis remote sensing Bakosurtanal melaporkan bahwa luas areal bervegetasi Mangrove di Indonesia diduga sekitar 3,2 juta hektar. Sementara pada tahun 2007, Direktorat Jendral Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, Kementerian Kehutanan melaporkan bahwa luas areal yang berpotensi ditanami mangrove (termasuk areal bervegetasi mangrove) ditaksir sekitar 7,8 juta hektare.
Bahwa dari kawasan berhutan mangrove yang masih ada, sekitar 30,7% dalam keadaan baik/tidak rusak, 27,4% dalam kondisi rusak sedang, dan 41,9% dalam kondisi rusak berat. Saat ini sekitar 42% mangrove di dalam kawasan hutan dan 77% mangrove di luar kawasan hutan mengalami kerusakan akibat overekploitasi, konversi ke bentuk pemanfaatan lain, pencemaran, bencana alam dan lain-lain.
Kerusakan mangrove di banyak pulau, terutama pulau-pulau kecil terluar di Indonesia, akan menyebabkan hilangnya / tenggelamnya pulau-pulau tersebut yang berimplikasi terhadap penguranngan luasan daratan dan keutuhan kedaulatan negara (Pengurangan Wilayah Laut Nusantara).
Kerusakan Mangrove di Batam
Pulau Batam yang luasnya sekitar 415 Km persegi atau sekitar 400.000 hektare. Dari luas Pulau Batam tersebut, sekitar 23.428 hektare atau sekitar 58.57% adalah merupakan kawasan hutan. Sedangkan dari luas daratan Pulau Batam, 8000 hektare atau sekitar 20%, adalah merupakan kawasan hutan bakau atau mangrove, dimana 6400 hektare atau sekitar 80% dari luas hutan bakau yang berada di wilayah Batam, telah mengalami kerusakan yang mengkuatirkan. Hasil observasi dan investigasi Komunitas Peduli Mangrove, bahwa telah terjadi kerusakan mangrove di beberapa lokasi/titik di Batam seperti di wilayah Mentarau Tiban, Bukit Kemuning, Batu Merah, Kampung Belian, Dapur 12, kawasan Ocarina, kawasan Universitas Internasional Batam, Pulau Bokor, kawasan Barelang, dan beberapa titik / lokasi lainnya. Dan kerusakan mangrove di tepian pantai dan pinggir laut di wilayah Batam sangat berdampak buruk pada pengikisan atau abrasi yang berpotensi mengurangi luasan Pulau Batam, dan pulau-pulau sekitarnya.
Untuk diketahui bahwa reboisasi atau penanaman ulang mangrove yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Batam, maupun BP Kawasan Batam belum bisa mengimbangi luasan mangrove yang telah rusak. Dan menurut hemat kami, bahwa selama ini ada beberapa aktivis internasional di bidang lingkungan yang telah melakukan penanaman Mangrove di Indonesia umumnya dan Pulau Batam khususnya. Kegiatan penanaman mangrove oleh para aktivis internasional tersebut, mencerminkan besarnya perhatian mereka untuk melestarikan mangrove sebagai paru-paru bumi dan melestarikan mangrove karena sangat bermanfaat untuk kelangsungan kehidupan manusia dan untuk menjamin ketersediaan air tawar yang dibutuhkan manusia.
Undang-Undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dan Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, mengamanatkan bahwa mangrove tergolong ekosistem hutan, sehingga pemerintah harus bertanggung jawab dalam pengelolaan hutan bakau yang berasaskan manfaat dan lestari.
Bahwa Kepala Kantor Bapedal Kota Batam, Dendi N. Purnomo dan Kepala Dinas KP2K Kota Batam Drh. Suhartini, pernah menyebutkan di harian lokal Batam, bahwa setiap mangrove/lahan yang dimanfaatkan dan mengakibatkan rusaknya mangrove, maka perusahaan atau yang bersangkutan harus menyiapkan lahan pengganti untuk penanaman pohon bakau/mangrove. Perlu diketahui, bahwa untuk menjamin ketersediaan air tawar bagi masyarakat Batam dan sekitarnya, maka mangrove di bibir pantai atau tepian pantai dan pulau-pulau sekitarnya harus tetap terjaga kelestariannya.
Penyebab Kerusakan Mangrove
1. Gampangnya pengalokasian lahan kepada pengusaha untuk usaha komersil, khususnya lokasi yang berada di tepian pantai atau di pinggir laut yang didominasi tumbuhan hutan bakau (mangrove). Semestinya eksistensi dan ekosistem mangrove harus menjadi bagian pertimbangan sebelum mengalokasikan lahan menjadi usaha komersil.
2.Lambatnya pembuatan dan penyelesaian RT/RW Kota Batam yang merupakan acuan pembangunan di wilayah Batam.
3.Kebijakan Pemerintah Kota Batam dalam pengelolaan tata ruang kurang mempertimbangkan fungsi dan luas kawasan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS), dan hal ini berpotensi terganggunya keseimbangan tata air, seperti banjir, erosi, sedimentasi, kekurangan air serta rusaknya ekosistem mangrove di kawasan pesisir pantai.
4.Lemahnya penegakan hukum di Kota Batam, berakibat pada banyak oknum dan pengusaha yang tidak bertanggung jawab, menyuruh masyarakat untuk menebang, merambah dan merusak mangrove untuk pembuatan arang bakau untuk di ekspor ke berbagai negara tetangga dan negara lainnya.
5.Penebangan/perusakan mangrove, bukan lagi sebatas home industri, sudah terindikasi ke usaha komersil bahkan mengarah ke bisnis internasional, karena tebangan mangrove dijadikan arang bakau secara besar-besaran dan dimasukan ke dalam kardus untuk disusun di dalam kontainer sebagai komoditas ekspor.
6.Tidak tertutup kemungkinan, bahwa upaya perusakan mangrove sebagai bisnis utama para cukong atau pengusaha lokal dimodali oleh pihak luar/pengusaha luar negeri untuk merusak ekosistem mangrove di Batam dan pulau-pulau sekitarnya, karena hampir semua arang bakau yang diproduksi di ekspor ke luar negeri.
7.Banyaknya pengalihfungsian lahan tepian pantai atau tepian laut yang ditumbuhi mangrove menjadi galangan kapal, pelabuhan rakyat, pelabuhan khusus, tambak tradisional, perumahan, restoran dan hotel.
8.Adanya pembiaran penebangan mangrove oleh instansi terkait yang langsung bersentuhan dengan pengawasan hutan, khususnya ekosistem mangrove.
Sehubungan dengan kerusakan mangrove yang sudah sangat mengkuatirkan dan sudah sangat merusak ekosistem mangrove dan sangat berpotensi mengganggu ketersediaan air tawar untuk kebutuhan masyarakat, maka dipandang perlu adanya upaya mencegah dan meminimalisir meluasnya perusakan mangrove tersebut. ***