Jalan bintan menjadi salah satu jalan yang menyimpan cerita di Tanjungpinang |
PLH Batam - Yogyakarta punya Jalan Malioboro. Bandung punya Jalan Braga. Tanjungpinang punya Jalan Bintan; ruas jalan pendek yang punya kisah panjang. Mari menyusuri.
Menuju Jalan Bintan bukan hal sulit bagi wisatawan. Jaraknya hanya sepelemparan batu dari pintu keluar Pelabuhan Sri Bintan Pura. Belok kiri sekitar 300 meter. Sudah tiba di hadapan jalan satu jalur arus kendaraannya. Selangkah di ruas Jalan Bintan, ada kios koran. Seluruh surat kabar cetak terbitan lokal mejeng di sini. Koran-koran Jakarta juga ada. Hanya saja baru tersedia tengah hari. Karena waktu terbaik menyusuri jalan ini adalah saat pagi, lebih baik mencomot satu-dua koran lokal sebagai teman. Jangan dibaca dulu.
Tepat bersebelahan dengan kios koran itu ada Kedai Kopi Ria. Sepetak ruko yang dibiarkan terbuka dan diisi pasang-pasang kursi dan meja. Sepintas biasa-biasa saja. Karena memang kedai ini yang luar biasa. Sejumlah seniman kerap ngopi di sini. Bahkan Rida K Liamsi, budayawan dan bos koran itu acap terlihat menikmati pagi di sini kala sedang di Tanjungpinang.
Keluarkan Rp 5 ribu. Teguklah kopi di situ. Baru keluarkan koran dan jadikan teman. Baca berita-berita yang sedang ingar-bingar di ibu kota provinsi ini. Bila kopi sudah tandas, mari bergegas. Saatnya mencari sarapan.
Soal makanan, Jalan Bintan menyediakan banyak pilihan. Bersebelahan dengan Kedai Kopi Ria, ada Rumah Makan Padang. Bila perut sedang ingin dipuaskan dengan porsi besar. Ini pilihan benar. Tapi sarapan istimewa adalah dengan porsi sederhana. Sebab perut yang terlalu penuh kerap membikin kantuk di tengah hari. Bergeserlah 20 meter dari situ. Masih dari sisi ruas jalan yang sama.
Seputaran pukul tujuh atau delapan pagi, ada banyak orang berjejalan di sana. Berdiri menanti seporsi sarapan tersaji. Mereka adalah kaum yang tak beruntung lantaran meja dan kursi sudah terisi. Kedai Kopi Aneka Ria, namanya. Baik yang sedang duduk atau berdiri itu sedang menanti sesuatu yang sama. Sepiring mi lendir.
Lendir? Ya. Ini adalah penyebutan atas kuah kental berbahandasarkan kacang, gula merah, dan tepung terigu. Kemudian disiramkan pada mi kuning, kecambah, dan telur rebus. Sumardi (76), pedagangnya menuturkan, sudah menjajakan olahan mi ini sejak tahun 1968. “Di kedai kopi Setya sudah 41 tahun, di Aneka Ria mau tujuh tahun,” terang kakek asal Klaten ini.
Mampu menyintas nyaris separuh abad lantaran tingginya permintaan pelanggan. Tiap harinya bisa menghabiskan 30-40 kilogram mi kuning. Jumlah ini bisa meningkat dua kali lipat di akhir pekan.
Soal citarasanya tidak perlu diperdebatkan. Ketika kuah kental itu menyentuh lidah, ada sensasi gurih kacang yang berkelindan dengan manis gula merah. Belum lagi irisan cabai hijau yang menorehkan aksen kejutan pedas nan segar. Bagi mereka yang kali pertama mencicip kuliner khas Tanjungpinang ini, tidak butuh waktu lama untuk menandaskannya. “Saya kalau ke Tanjungpinang, pasti sarapan di sini,” kata Antoni, seorang pengusaha asal Batam.
Kopi sudah. Sarapan pun sudah. Mari melanjutkan penyusuran Jalan Bintan. Saujana mata beredar bakal bersitatap dengan akses ruko-ruko gaya lama di Jalan Bintan. Yang berjualan di sana bermacam-macam. Ada apotek, kios stiker, bengkel sepeda dan motor, kedai-kedai kopi, toko jam, penginapan, hingga kelontong-kelontong cilik.
Abaikan padatnya kendaraan yang melaju di sana atau pun yang terparkir. Mau itu mobil, truk, motor, hingga becak pelabuhan. Manjakan mata dengan pemandangan-pemandangan klasik yang masih terjangkau di sana. Kalau perlu, arahkan kamera. Abadikan setiap potret kehidupan yang tersaji di Jalan Bintan. Ini akan menjadi album foto perjalanan yang mengesankan. Untuk kemudian bisa diunggah ke jejaraing sosial.
Jikalau kaki-tangan sudah pegal dan terasa letih, kini waktunya beristirahat. Pesan segelas es teh tarik di Kedai Kopi Jalan Bintan. Namanya memang begitu. Khairan Aldhy, pemiliknya, punya alasan menamai sedemikian. “Aku ingin setiap orang yang ke Jalan Bintan itu bisa ngopi sambil berbagi cerita di jalan legendaris ini,” terangnya.
Segelas es teh tarik adalah pilihan baik untuk menuntas dahaga. Terlebih dalam kedai bernuansakan warna putih itu juga dipampang banyak foto-foto lama Tanjungpinang. Ini bisa menambah pengetahuan juga bagi mereka yang kali perdana melancong ke ibu kota provinsi ini.
Kalau sudah tandas segelas, jangan keburu menuju penginapan. Menyeberanglah dari Kedai Kopi Jalan Bintan. Agak sedikit menyerong ke kiri. Ada ruko kuna di sana. Inilah Toko Roti Zaman. Seperti namanya. Roti ini punya sudah menyintas lintas zaman. “Ini sudah tiga zaman, dari orang tua saya dulu,” kata Andri Heng (70), sang pemilik.
Ia sendiri mengaku sebagai generasi ketiga. Yang kali pertama merintis adalah Heng Pok Teng, orang tuanya. Toko roti di Jalan Bintan Nomor 41-43 ini sudah dibuka sejak tahun 1932. Bisa jadi Roti Zaman adalah pionir toko roti di Tanjungpinang. Dulunya bernama Jee Hiang, yang artinya ‘Harum dan Lezat’.
Comot Roti Zaman sebagai bekal penganan di penginapan. Pilih manasuka. Ada jenis roti panggang kering isi selai srikaya atau olesan mentega. Harganya juga sangat terjangkau dari kisaran Rp 4 ribu hingga Rp 13 ribu.
Dulunya, Jalan Bintan adalah Kampung Bintan. “Sebagaimana kampung, sebagian besar penduduknya adalah masyarakat Melayu,” kata Sejarawan Aswandi Syahri.
Namun, siapa sangka, Jalan Bintan itu dulunya bukan jalanan sebagaimana yang dijumpai hari ini. “Dulunya itu adalah parit besar yang bisa dilintasi sampan,” tambah Aswandi.
Merujuk peta lama yang dikoleksinya, Aswandi menyebutkan, parit atau sungai kecil itu bermula dari balik bukit yang kini menjadi Rumah Sakit Angkat Laut (RSAL) Tanjungpinang. Lalu mengalir melintasi Jalan Tabib yang berada di sebelah Masjid Raya, kemudian mengaliri Jalan Bintan menuju Jalan Pos hingga bermuara ke laut, yang kini menjadi dermaga penyeberangan Pulau Penyengat. “Sebelum 1940-an, sampan-sampan itu masih bisa hilir-mudik dari Jalan Pos ke Jalan Bintan,” tambah Aswandi.
Bahkan, saat itu di persimpangan Jalan Tabib, masyarakat biasa menggunakan aliran parit itu untuk keperluan mandi dan mencuci. Selain itu, lanjut Aswandi, Secara tak langsung parit itu sekaligus sebagai pembatas antara permukiman penduduk dengan pusat pemerintahan kolonial Belanda. Khusunya Kantor Residen yang kini menjadi Gedung Daerah.
Seiring berkembangnya zaman, perlahan parit itu terus menyempit hinga berujung pada penutupan. “Setelah dekade 1940-an, keberadaan parit itu mulai menyempit dan diputuskan untuk ditutup,” ujar Aswandi. Sejarawan berkacamata ini memperkirakan lebar parit saat itu mencapai dua meter.
Jejak-jejak parit di Jalan Bintan masih bisa dijumpai kala hujan lebat melanda Tanjungpinang. Pada saat demikian, air hujan yang mengaliri parit yang berada di Jalan Bintan kerap meluap dan meluber di jalan.
Seandainya saja, parit atau sungai kecil itu tidak ditimbun dan ditutup, agaknya, akan sangat menyenangkan bila masyarakat Tanjungpinang harus menggunakan sampan bila hendak menikmati kopi di Jalan Bintan.***
http://batampos.co.id/