PLH Indonesia - Siompu Timur merupakan salah satu kecamatan yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Buton Selatan (Busel). Pulau Siompu, begitu masyarakat Sulawesi Tenggara menyebutnya. Jika berangkat dari Pelabuhan Topa, Kota Baubau, hanya membutuhkan waktu 40 menit perjalanan laut menggunakan speed boat untuk sampai ke pulau ini. Ada dua pulau yang dilewati yakni Pulau Kadatua dan Pulau Ular. Setelahnya, barulah Pulau Siompu. Sebelah Pulau Siompu, itu sudah masuk Pulau Batu Atas. Jadi pulau ini terletak di antara Pulau Ular dan Pulau Batu Atas.
Yang menarik, di Desa Waindawula, Kecamatan Siompu Timur, Kabupaten Buton Selatan (Busel) ternyata terdapat ras masyarakat yang bermata biru. Berikut La Ode Yusri MA, peneliti budaya dan bahasa Sulawesi Tenggara, menceritakan secara eksklusif penelusurannya terhadap masyarakat bermata biru di Siompu Timur kepada Kendari Pos, yang disajikan secara bertutur:
Sebenarnya, saya (La Ode Yusri) ke Pulau Siompu untuk melakukan penelitian kebudayaan, mengidentifikasi benteng-benteng yang ada di sana, dan mengumpulkan data kebahasaan di daerah ini. Saya melakukan penelitian bahasa sejak tahun 2006 di wilayah Kota Baubau, Buton, dan Pulau Kadatua. Namun, data yang terkumpul belum maksimal. Menurut teman-teman di Summer Institute Linguistic (SIL) bahwa di Kaimbulawa, salah satu desa di Siompu Timur, memiliki bahasa yang unik. Bahasanya beda dengan tiga komunitas di daerah ini. Tidak sama antara masyarakat Molona (Siompu Barat) dan Lapara (Siompu Timur) dengan Kaimbulawa ini. Saya pun melakukan mengumpulkan data bahasa di Siompu Timur sejak 6 bulan terakhir.
Pekan lalu, tepatnya hari Sabtu, 6 Agustus 2016, saya kembali ke Siompu untuk melakukan penelitian. Dalam perjalanan, saya sempat berkenalan dengan seorang pedagang asal Siompu di speed boat. Dia baru saja kembali dari Wakatobi memasarkan dagangannya. Pedagang itu bernama Umar yang memasarkan hasil-hasil bumi Siompu ke daerah lain.
Dialog pun terjadi di antara kami. Umar mulai mengungkap keberadaan masyarakat bermata biru ini. “Jika Anda ingin ke sana, saya siap memfasilitasi,” ujar Umar. Ternyata, Umar cukup dekat dengan Kepala Desa Waindawula dan warga yang bermata biru ini. Speed boat yang kami tumpangi berlabuh di Pelabuhan Lapara (ibu kota Kecamatan Siompu Timur). Jarak dari Lapara ke Waindabula sekitar 9 kilometer (km), melewati Desa Kaimbulawa. Masyarakat bermata biru itu tinggal di daerah pegunungan yang jauh dari keramaian warga Siompu.
Sepanjang perjalanan, rasa penasaran terus berkecamuk. Keinginan membuktikan informasi Umar terkait keberadaan mata biru sangat besar. Ini hoax atau memang benar-benar ada. Umar pun menepati janjinya untuk mengantar saya ke tempat berdomisili rumpun keluarga bermata biru ini. Jalan-jalan desa pun kami lewati dan akhirnya sampai pada sebuah rumah sederhana di tengah hutan.
Rumah itu milik Dala (50). Seorang guru SD di Desa Waindawula yang nyambi jadi petani. Setelah bertemu Dala, ternyata informasi mata biru itu memang benar. Bukan hoax. Perawakan Dala mirip orang Eropa. Tubuhnya tinggi, rambut pirang, kulit putih, dan matanya memang biru. Begitu pun anaknya bernama Ariska Dala (15), juga memiliki mata biru.
Keluarga ini tidak terlalu gamblang menerima kedatangan orang asing. Mereka terlihat cukup tertutup jika hendak menggali banyak informasi. Namun, saya berusaha mengorek keterangan dari Dala terkait asal muasal keturunan mata biru ini. “Saya hanya paham sedikit. Yang tahu persis sejarahnya itu, kakak saya. Dia tinggal di Ambon sekarang. Sebagian besar komunitas mata biru itu pindah ke daerah lain. Salah satunya Ambon. Hanya sedikit yang tersisa dan memilih menetap di Siompu,” ungkap Dala. Saking tertutupnya, Dala menolak untuk diabadikan gambarnya.
Pria bermata biru ini mulai bercerita. Versi Dala, pada abad 16 atau sekira awal tahun 1600-an, Pulau Siompu menjadi tempat persinggahan pelaut dari Eropa. Termasuk dari Portugis. “Itu jauh sebelum datang Belanda,” ujarnya.
Bentuk persahabatan antara warga Siompu dengan Portugis kala itu, pemimpin Portugis mempersunting gadis bernama Waindawula. Gadis ini adalah cucu dari La Laja, seorang bangsawan Wolio. Salah seorang keturunan La Laja ini yakni La Ode Ntaru, Lakina Liya (Raja Liya) yang berkuasa tahun 1928. Memang saat saya berkunjung ke Benteng Liya (Wakatobi, red), perawakan La Ode Ntaru ini mirip orang Eropa. Tapi tidak ada warisan pigmen pada turunannya di Wakatobi yang bermata biru.
“Sebenarnya banyak yang kawin mawing (kawin silang) dengan pasukan Portugis ketika itu. Keturunan mereka juga banyak bermata biru. Kalau tidak biru matanya, biasanya rambutnya yang berwarna pirang. Tapi yang tahu persis, itu kakak saya yang di Ambon itu cerita lengkapnya,” ungkap Dala mengisahkan cerita leluhurnya yang turun temurun terkait asal muasal mata biru.
“Masih banyak sebenarnya yang mewarisi mata biru ini. Hanya mereka banyak yang pindah,” imbuhnya. Dala belum mengungkap berbagai rahasia yang tersimpan tentang keberadaan mata biru di Sultra. Saat saya mencoba mengorek ceritanya, terkadang dia hanya tersenyum. Sepertinya, Dala belum mau terbuka atau blak-blakan karena baru bertemu. Setelah saya mencari informasi di masyarakat sekitar, memang ras mata biru cukup tertutup bagi warga asing. Tapi banyak ada orang-orang barat yang datang melakukan penelitian di daerah ini.
Dari hasil penelusuran sementara, di Desa Waindawula, tersisa tiga rumpun yang masih mewariskan pigmen keturunan Perancis. Mereka hidup di desa tersebut sebagai petani. Kurang lebih 10 orang yang bermata biru, termasuk Dala dan anaknya. Sementara, keturunan lainnya, matanya tidak biru tapi rambutnya pirang dan kulitnya tetap putih. Jumlah penduduk di Desa Waindawula sekitar 20 KK. Jarak rumah di desa ini saling berjauhan satu sama lain. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu di kebun. (arifuddinmangka)