- Di tengah pesatnya pembangunan Kota Batam, ada satu kampung pesisir yang terkenal kumuh penuh sampah karena menjadi muara penumpukan sampah yang sudah terjadi puluhan tahun.
- Sampah di kampung ini berasal dari daratan (pusat perbelanjaan Kota Batam) dan juga sampah laut yang terbawa air pasang surut.
- Sampah tersebut puluhan tahun kemudian mengendap di bawah rumah panggung warga. Lama-kelamaan menutupi pesisir yang dulu terkenal dengan air yang jernih dan pasir putih.
- Penutupan itu membuat 15 meter garis pantai bergeser menjadi daratan yang dipenuhi tumpukan sampah. Air laut sekitar berubah menjadi hitam kumuh, dan juga merusak ekosistem pesisir yang dulunya lokasi memancing nelayan sekitar.
Seorang warga melihat tumpukan sampah yang berada di antara rumah panggung warga Tanjung Uma, Kota Batam . Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia |
Bau busuk menyengat masuk ke rongga hidung ketika memasuki pesisir kampung terapung Agas, Kelurahan Tanjung Uma, Lubuk Baja, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Sampah plastik berserakan di bawah pelantar rumah-rumah panggung warga. Ada juga yang ikut bersama air limbah berwarna hitam pekat menuju laut.
Orang-orang berlalu lalang di jembatan beton dan kayu diantara rumah-rumah panggung masyarakat di kampung itu. Tidak jarang juga terlihat anak-anak bermain kartu gambar di antara sampah yang berserakan.
Jika kita masuk lebih jauh ke dalam, terdapat Pasar Kampung Agas. Pedagang makanan hingga sayur-sayuran berjejer di sepanjang jalan di pasar ini. “Bagi kami sudah biasa (hidup dengan sampah berserakan) ini, sudah puluhan tahun sampah disini,” ujar Yuliarti (61 tahun) salah seorang warga Tanjung Uma kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu.
Kampung Agas yang ditempati Yuliarti ini bak menjadi “kampung sampah”. Hingga satu meter sampah menumpuk di bawah rumah panggung. Sudah menjadi rahasia umum kampung ini terkenal dengan tumpukan sampah. Warga menganggap hal itu biasa saja.
Mongabay Indonesia menelusuri sumber sampah dan limbah yang mencemari pesisir kampung ini. Hingga mencari solusi agar kampung Tanjung Uma tidak menjadi jalur pencemaran laut yang terus dibiarkan.
Kampung Penampung Sampah
Masih jelas dalam ingatan Yuliarti pada kurun 1980-an lalu. Di bawah rumah panggungnya, air laut pesisir Tanjung Uma berwarna biru. Tetapi kondisi sekarang hanyalah tinggal tumpukan sampah yang menyisakan bau busuk. “Dulu ini laut pesisir, biru dan pantainya putih, kalau logam kita lemparkan, kita menyelam masih nampak (itu logam),” kenangnya sambil berdiri di pelantar rumah panggungnya sore itu.
Di depan rumah panggung Yuli terlihat beraneka ragam sampah, mulai dari botol minuman, baju bekas, hingga styrofoam. Tidak sedikitpun menyisakan air laut yang biru dan bersih itu. Semua pesisir sudah berubah menjadi tumpukan sampah. Sampah itu sudah menumpuk setinggi satu meter. Setiap tahun tumpukan itu terus naik menjangkau ke lantai rumah warga.
Ketika air laut pasang, kata Yuli, tidak jarang air dan sampah masuk sampai ke rumah warga. “Kalau rumah saya masih aman. Rumah lain sudah kemasukan air,” kata Yuli sambil menunjuk beberapa rumah panggung yang sedikit lebih rendah dari rumahnya.
Yuliarti, warga Tanjung Uma, Kota Batam, Kepulauan Riau, yang berdiri didepan rumahnya yang penuh tumpukan sampah plastik. Foto : Yogi Eka Sahputra/Mongabay Indonesia |
Rata-rata Kampung Agas dihuni oleh warga di atas rumah panggung. Rumah-rumah itu berada cukup rapat dari satu rumah ke rumah yang lain. Bangunan ini ditopang dengan kayu yang dipancang rapat di bawah rumah.
Sampah-sampah tersebut berada di bawah pelantaran, maupun di celah antara rumah satu dengan yang lain. Hampir di setiap pekarangan rumah ada saja sampah yang berserakan.
Sampah ini tidak hanya berasal dari sampah rumah warga Tanjung Uma yang berjumlah sekitar 8.000 jiwa. Tetapi dari berbagai penjuru, mulai dari darat hingga sampah yang berasal dari laut.
Letak Kampung Tanjung Uma tepat di sebelah utara Pulau Batam, mengarah ke selat Singapura. Kampung ini bersebelahan dengan kawasan pusat perbelanjaan Kota Batam, mulai dari mall-mall hingga pasar tradisional terbesar di Batam (Pasar Tos 3000). Dari kawasan inilah diduga sampah darat masuk ke pesisir Tanjung Uma melalui sungai.
“Kampung kami ini juga muara sungai dari Pasar Jodoh dan Nagoya. Sampah juga ada sebagian yang terbawa sungai-sungai itu,” kata Abdul Aziz Karim (72 tahun), mantan Ketua RW 4 Kelurahan Tanjung Uma, kepada Mongabay Indonesia beberapa waktu lalu.
Tidak hanya dari darat, sampah yang menumpuk di kampung Tanjung Uma juga berasal dari laut. Sampah laut naik ke pesisir ketika air pasang terjadi. Apalagi pada musim angin utara. Kemudian ketika surut, sampah-sampah berat tersangkut di bawah pelantar rumah panggung warga, tepatnya di tonggak kayu yang terpancang di bawah rumah.
Kondisi tersebut membuat sampah menumpuk setiap air pasang surut terjadi. Dari tahun ke tahun tumpukan sampah semakin tinggi, menjangkau lantai dasar rumah panggung warga.
Seperti yang terjadi di rumah Abdul Karim. Di bawah rumah warga Tanjung Uma satu ini sudah menjadi daratan biasa, begitu juga dengan rumah sekitarnya. Padahal dulunya adalah laut pesisir yang biru, sekarang hilang akibat penumpukan sampah. “Di bawah lantai ini sampah semua, karena tinggi tumpukan sampah sudah sampai ke lantai, akhirnya saya cor saja jadi daratan,” katanya.
Abdul mengatakan, awal membangun rumah panggungnya ini jarak antara rumah ke dasar laut mencapai sekitar 1,5 meter. Tetapi sampah terus naik dan mengendap di bawah rumahnya, sehingga sekarang menjadi daratan.
Diperkirakan telah terjadi sedimentasi atau pengendapan material termasuk sampah menjadi daratan sepanjang 15 meter di pesisir pantai Tanjung Uma. Tetapi Abdul tidak tahu pasti luas daratan yang terbentuk.
Oleh Yogi Eka Sahputra [Batam] di 14 August 2022