Pantai Sulawesi Barat |
PLH Indonesia - Sebagian besar garis pantai di Sulawesi Barat beberapa tahun belakangan ini sudah terancam abrasi atau proses pengikisan pantai, terutama kampung-kampung nelayan di pesisir Teluk Mandar mulai dari Campalagian sampai Majene. Tingkat kerusakan terparah yang ditemukan akibat abrasi ini adalah pada bagian timur muara Sungai Mandar di kawasan Desa Tangnga-tangnga dan Desa Karama (khususnya Dusun Manjopaiq) Kecamatan Tinambung, dan beberapa titik di antara Desa Galung Tulu sampai Desa Bala Kecamatan Balanipa.
Solusi penanganan pemerintah setempat untuk mengatasi abrasi pantai ini masih dalam pola yang klasik yakni membangun tanggul beton sepanjang garis pantai yang kena atau berpotensi abrasi. Pembangunan tanggul beton dianggap sebagai pola yang tidak ramah lingkungan dan sistem pendekatan “keras”, yakni membuat pelindung pantai tidak estetis dan ekologis.
Terkesan tanpa aspek tehnis, tanggul beton ini sudah mengular “buta” di Desa Tangnga-tangnga, Dusun Manjopaiq Karama, Desa Galung Tulu, dan yang terbaru, di Desa Pambusuang dan Desa Sabang Subik. Dua instansi yang bertanggungjawab membangun tanggul-tanggul itu adalah PNPM (?) dan Balai.
Meski tanggul beton dianggap mampu memberi perlindungan, tapi tak serta merta teknologi tersebut cocok untuk di semua tempat. Banyak parameter di lokasi bersangkutan yang harus dipertimbangkan, baik itu kondisi fisik laut, geografis, populasi, lingkungan, dan kebudayaan setempat. Memperhatikan paramater atau faktor tersebut, desain konstruksi tanggul beton dipastikan tidak semuanya cocok digunakan untuk melindungi kampung nelayan di pesisir Teluk Mandar.
Tahun 2014, Dusun Manjopaiq Desa Karama Kecamatan Tinambung berantakan dihantam ombak besar, beberapa rumah warga roboh. Padahal kawasannya baru saja dipasangi tanggul beton. Ketika diperiksa, kedalaman tanggul hanya sebatas perut orang dewasa yang menjadi penyebab tanggul itu tidak berdaya menjadi pelindung. Indikasi permainan kontraktor yang sangat merugikan. Berdasarkan kasus itu, warga setempat menuntut, mereka butuh pemecah ombak, bukan tanggul.
Dari sisi sosial, tanggul beton berpotensi menjadi bom waktu. Sebagaimana pembangunan tanggul beton di Desa Tangnga-tangnga, yang sempat memicu konflik karena warga nelayan merasa dirugikan. Lantaran pembangunan tanggul beton membuat perahu-perahu mereka sulit ditarik kedaratan (Bahasa Mandar-nya “mambuaq”). Masyarakat nelayan mengeluhkan karena untuk menarik perahu pun tidak leluasa, resiko saling bertabrakan karena memanfaatkan celah tanggul yang belum selesai. Penempatan perahu serampangan, tidak menghadap kelaut karena disesuaikan dengan kondisi.
Kerugian nelayan pun bertambah ketika tanggul beton yang makin memanjang memaksa mereka untuk membawa perahu ke bagian kawasan yang belum ditanggul. Desa Karama saat ini menjadi salah satu pilihan utama tempat penitipan kapal nelayan karena pinggir pantai di Desa Galung Tulu dan Desa Tanganga-tangnga, semua sudah dibanguni tanggul beton. Tidak ada ruang lagi untuk menarik perahu ke daratan.
“Ya, banyak kapal dititip di sini, bisa penuh. Kalau ada kapal luar yang datang ke sini, mereka wajib donasi ke mesjid, 50 – 100 ribu. ‘Cinnong-cinnong ate’. Kapal dari Karama tetap diutamakan, jadi kalau semua dinaikkan ke darat, kapal pendatang diminta keluar atau ke tempat lain,” kata Nur Said, salah satu pengusaha ikan di Desa Karama.
“Nelayan Baqbarura datang juga ke sini simpan perahunya. Di sini aman, tidak abrasi sebab ada tanggul di luar. Sewaktu saya masih kecil, tanggul di luar itu sudah ada. Kampung aman, perahu juga aman. Kalau tanggul beton dibangun sini, kita jelas tolak. Itu tanggul beton, kalau dibangun asal-asalan, bagian bawahnya terkikis, lama-lama rusak juga,” tambah Nur Said.
Penitipan perahu bukan pemecahan masalah yang bagus bagi masyarakat nelayan. Karena ketika semua kawasan pantai diproyeksikan untuk dibanguni tanggul, masalah besar bisa terjadi. Dimana lagi para nelayan itu menyimpan perahu yang menjadi mata pencaharian. Warga di desa-desa itu sudah berulang kali menyampaikan aspirasi mereka tentang pembangunan tanggul beton yang merugikan mereka. mereka hanya butuh pemecah ombak, bukan tanggul beton yang dibangun “mepet” dipemukiman mereka. Namun aspirasi masyarakat sampai saat ini tidak digubris sama sekali. Pembangunan tanggul beton tetap berjalan dengan tenang, bahkan semakin memanjang.
Dusun Wai Tawar (Desa Tammangalle, sekitar 2 km dari Pambusuang) saat ini ada 20 kapal di titip dikawasannya. Kapal yang dititip adalah kapal dari Desa Galung Tulu, yakni jenis kapal yang sudah dalam kondisi tua, yang sering digunakan pada musim perburuan ikan terbang. Ketika kapal-kapal dari Pambusuang juga akan disimpan di situ, kawasannya tak mencukupi. Belum lagi jaminan keamanannya. Dusun Wai Tawar layak dijadikan tempat mendaratkan perahu, karena ada pemecah ombak dibagian luar pantai berupa beton berlubang yang ditumpuk. Ada kabar, bahwa Wai Tawar juga akan dibanguni tanggul beton. Jika itu terjadi, masalah akan semakin kompleks.
Tanggul beton dikategorikan sebagai penanganan sporadis, parsial, dan tidak komprehensif karena berpotensi menimbulkan masalah dampak baru, sifatnya hanya memindahkan lokasi erosi dari tempat terlindungi ke lokasi sekitarnya yang kurang diperhatikan. Dengan tanggul beton, abrasi tidak akan pernah tuntas. Menurut pakar kelautan, mengatasi kondisi kelautan dengan potensi ombak besar seperti dikawasan Sulawesi Barat adalah pemecah ombak serta penanganan alami seperti restorasi mangrove secara massif. from kabarkami.com