PLH-Indonesia
Semua Itu Adalah Ulah Tangan Manusia
Kerusakan Hutan Akibat tangan manusia |
Hasil penelitian para ilmuwan menunjukkan bahwa sebanyak 90% penyebab pemanasan global disebabkan oleh ulah tangan manusia. Maraknya penggundulan hutan adalah sebagian ulah tangan manusia penyebab pemanasan global.
Hutan sebagai penyerap gas CO2 semakin habis akibat penebangan entah legal maupun ilegal. Pengundulan hutan akan menambah emisi karbon sebesar 20%, dan akan mengubah iklim lokal dan siklus hidrologi yang pada akhirnya akan mengurangi kesuburan tanah. Lihat saja selama 50 tahun kita telah merusak 50% hutan dunia. Di sepanjang tahun 1960 sampai 1990 seperlima dari seluruh hutan tropis yang ada musnah. Angka ini mewakili daerah seluas 450 juta hektar (luas daratan Indonesia sekitar 181 juta hektar). Jika laju kerusakan ini tetap sampai sekarang maka sampai tahun 2045 sepertiga berikutnya akan menyusul. Dari data menteri kehutanan RI bahwa dari total 120 juta ha hutan Indonesia yang rusak 59,3 juta ha. Jika hal ini dibiarkan maka 15 tahun lagi hutan Indonesia akan habis (Republika, No. 257, Tahun ke 13, 2005 dalam Rachmawan 2006). Berbagai aktifitas yang menyebabkan kerusakan hutan ini menyumbangkan 1,5 milyar ton karbon per tahunnya ke atmosfer.
Bermacam-macam ulah tangan manusia yang lain juga menyebabkan pemanasan global. Lihat saja dengan adanya revolusi industri berbagai macam industri, pabrik-pabrik dan kendaraan bermotor semakin marak. Sejak perang dunia II jumlah kendaraan bermotor di dunia bertambah dari 40 juta menjadi 680 juta, kendaraan bermotor ini merupakan produk manusia yang akan menambah jumlah emisi karbondioksida di atmosfer. Misalnya saja kendaraan bermotor yang mengkonsumsi bahan bakar sebanyak 7,8 liter per 100 km dan menempuh jarak 16.000 km, maka setiap tahunnya akan mengemisi 3 juta ton karbondioksida ke udara. Bayangkan jika jumlah kendaraan bermotor di Jakarta lebih dari 4 juta. Berapa emisi karbondioksida setiap tahunnya?. Pemakaian energi dunia juga memicu adanya global warming. Konsumsi energi dunia terutama energi fosil ini akan menyumbangkan 6 milyar ton karbon per tahun ke atmosfer. Selama kurang lebih sepanjang seratus tahun terakhir, konsumsi energi dunia meningkat dengan spektakuler. Sekitar 70% energi dipakai oleh negara-negara maju, dimana 78% dari energi tersebut adalah bahan bakar fosil dengan pembagian sebagai berikut: 36% dari industri energi yaitu pembangkit listrik dan kilang minyak, 27% dari sektor transportasi, 21% dari sektor industri, 15% dari sektor rumah tangga dan jasa, 1% dari sektor lain-lain. Konsumsi energi yang tinggi ini akan menimbulkan ketegangan dunia sebagai akibat ketidakseimbangan konsumsi energi. Fakta menunjukkan konsumsi energi dunia dilakukan oleh 20% penduduk kaya di 1/3 belahan bumi yang mengkonsumsi 86% dari seluruh sumber alam dunia yang dihasilkan oleh 80% penduduk dunia di 2/3 belahan bumi. Ketidakseimbangan jelas terjadi dimana ada wilayah yang terkuras habis dan ada yang meraup keuntungan.
Emisi karbon dari pemakaian energi fosil saat revolusi industri dimulai yaitu 1760 sangatlah kecil sebesar 280 ppm konsentrasi karbondioksida di atmosfer. Jumlah ini terus meningkat dan tahun 1950 jumlah emisi karbon di atmosfer mencapai 1,6 milyar ton per tahun. Pada tahun 2000 laju peningkatan emisi ini mencapai nilai tertinggi yaitu terjadi peningkatan sebesar 54 ppm pada periode 1960 sampai 2000. Laju peningkatan ini lebih tinggi dari laju peningkatan pada periode 1760 sampai 1960 yaitu sebesar 36 ppm. Laju peningkatan yang sangat tinggi ini menjadikan konsentrasi karbondioksida di atmosfer mencapai 570 ppm dalam tahun 2000, yang merupakan tingkat tertinggi dalam kurun waktu 3 juta tahun. Akibat yang terjadi adalah suhu permukaan bumi akan meningkat 1,4-5,8 derajad celcius. Dampak yang ditimbulkan adalah terjadi kejadian-kejadian alam yang ekstrem.
Illegal Logingkah ini ? |
Tampak Kayu yang siap di expor, |
Hutan dibakar akibat ladang berpindah-pindah |
kunjungi situs resmi kami di
~~~~~ ~~~~~ ~~~~~ ~~~~~ ~~~~~ ~~~~~ ~~~~~ ~~~~~ ~~~~~ ~~~~~ ~~~~~ ~~~~~ ~~~~~
Gambar. Kerusakan Lingkungan akibat Ulah Manusia
KERUSAKAN LINGKUNGAN BERDAMPAK PADA KEHIDUPAN MANUSIA
Kerusakan Lingkungan berdampak pada kehidupan manusia pada saat ini maupun masa yang akan datang, bahkan sampai beberapa generasi selanjutnya. Artikel Kerusakan Lingkungan ini untuk mengingatkan betapa ruginya kita selaku manusia yang tidak dapat menjaga lingkungan hidup yang tetap lestari untuk diwariskan kepada anak cucu kita. |
Lingkungan di sekitar kita termasuk hutan, tanah, air serta udara perlu dijaga demi keberlanjutan sumberdaya alam yang tetap lestari menghasilkan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan manusia. Pengertian Lingkungan yang dimaksudkan adalah komponen-komponen lingkungan yang di dalamnya terdapat lingkungan biotik dan lingkungan abiotik. Kerusakan lingkungan memberi dampak kepada ekosistem darat maupun laut serta mahluk hidup di dalamnya.
Lingkungan yang rusak tidak menyediakan lagi kondisi habitat yang sesuai bagi kehidupan mahluk hidup. Mahluk hidup seperti hewan akan berpindah mencari suatu tempat yang ideal agar kebutuhan hidupnya seperti makanan, minum dan ruang hidup dapat terpenuhi.
Gambar. Kerusakan Lingkungan akibat Ulah Manusia
Penyebab utama kerusakan lingkungan pertama adalah akibat ulah manusia dan yang kedua akibat alam, dalam hal ini bencana alam. Tetapi penyebab akibat ulah manusia sangat tinggi dan besar pengaruhnya dibandingkan kejadian oleh alam yang tidak setiap hari terjadi.
Negara-negara maju menaruh perhatian terhadap kerusakan lingkungan yang berdampak pada perubahan iklim global. Perubahan iklim global menyebabkan meningkatnya suhu bumi akibat akumulasi emisi gas di atmosfir atau yang sering dikenal dengan Global Warming. Sebagai negara berkembang Indonesia menghadapi masalah kerusakan lingkungan yang memberi dampak negatif bagi kesejahteraan manusia. Kerusakan lingkungan akibat ulah manusia membawa bencana, penyakit, serta kerugian harta dan jiwa
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
MENCARI SOLUSI DI TENGAH KEBAKARAN HUTAN INDONESIA
Oleh: Ary Pamungkas
Sebagai salah satu negara dengan luasan hutan yang cukup besar, Indonesia memiliki peran penting sebagai paru-paru dunia. Terlebih Indonesia memiliki 10% hutan tropis dunia ang masih tersisa. Selain itu, hutan Indonesia tercatat menjadi rumah bagi 12% dari jumlah total spesies mamalia, 16% spesies reptil dan ampibi, 1.519 spesies burung, dan 25% spesies ikan di dunia. Sebagian di antaranya endemik, atau hanya dapat ditemui di daerah tersebut.
Namun, belakangan ini hutan Indonesia menghadapi permasalahan yang pelik. Selain deforestasi/pembalakan hutan secara besar-besaran, kebakaran hutan yang terjadi hampir setiap tahun juga menjadi persoalan tersendiri yang cukup sulit diatasi.
Saat ini kebakaran hutan telah pula menjadi sorotan internasional sebagai isu lingkungan dan ekonomi. Kejadian itu dianggap sebagai ancaman potensial bagi pembangunan berkelanjutan karena dampaknya secara langsung pada ekosistem, kontribusi emisi karbon, serta bagi keanekaragaman hayati.
Di akhir tahun 1997 dan awal tahun 1998, serta tahun 2006, dunia dapat menyaksikan betapa menyedihkan dan mengerikannya insiden ketika api membinasakan berjuta-juta hektar hutan tropis di Indonesia. Peristiwa dahsyat tersebut meninggalkan lintasan panjang di Pulau Sumatera dan Kalimantan, berbentuk selimut asap tebal yang secara serius membahayakan kesehatan manusia. Kebakaran ini juga membahayakan keamanan perjalanan udara serta menyebabkan kerugian ekonomi yang sangat besar di seluruh kawasan. Demikian pula dengan banyaknya keluhan dari negara-negara tetangga.
Menurut Forest Fire Coordinator, Forest-Freshwater-and Terrestrial Species Program, WWF-Indonesia, Dedi Hariri, penyebab utama kebakaran hutan dan lahan tak lain datang dari faktor manusia melalui beberapa berbagai aktivitasnya, antara lain adalah pembukaan dan konversi lahan untuk perladangan dan perkebunan. "Biasanya kegiatan tersebut (pembukaan dan konversi lahan) dilakukan oleh masyarakat dan perusahaan dengan cara dibakar. Bahkan saat ini praktik pembakaran lahan banyak dilakukan secara tak terkendali, hingga kebakaran lahan terjadi secara masif,” jelas Dedi.
“Selain akibat kegiatan manusia, kondisi musim dan cuaca merupakan penyebab secara tidak langsung, atau semata faktor pendukung. Iklim dan cuaca hanya mengkondisikan kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan, sementara datangnya musim kering dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk membuka dan membakar lahan,” tambah Dedi.
Dedi mengutarakan, kebakaran hutan menimbulkan sejumlah efek negatif, baik secara ekologis, ekonomis, dan politis. “Bagi masyarakat umum, efek yang paling terasa dan dominan adalah gangguan asap, karena berdampak langsung terhadap aktivitas sehari-hari,” ujarnya.
“Untuk saat ini kebakaran hutan masih terjadi. Berdasarkan data hotspot (titik panas) dari NOAA-18 sampai dengan akhir September 2012, sebaran hotspot masih terlihat di beberapa provinsi, yakni Kalimantan Barat (6.280 titik), Sumatera Selatan (5.714), Riau (4.600), Kalimantan Tengah (3.205), dan Jambi (2.311),” imbuh Dedi.
Dedi menuturkan lebih lanjut mengenai perlunya penanganan yang serius dalam permasalahan kebakaran hutan saat ini. Pada dasarnya semua pihak harus bertanggung jawab. “Pemerintah maupun masyarakat harus lebih mengutamakan aspek pencegahan, karena akan lebih efektif untuk mengatasi kebakaran hutan dan lahan.”
Dalam perjalanan panjang WWF Indonesia dalam menjaga kelestarian hutan di Indonesia, WWF Indonesia juga turut dalam mengupayakan solusi dari permasalahan kebakaran hutan di Indonesia ini. Dalam beberapa tahun terakhir, kegiatan fisik di lapangan untuk mengurangi kebakaran telah banyak dilakukan, di antaranya monitoring hotspot dan memetakan distribusi hotspot menurut penggunaan lahan, memetakan konsesi perusahaan yang terindikasi terdapat hotspot di areanya, dan penyelenggaraan judicial workshop untuk penegakan hukum kasus kebakaran hutan dan lahan.
“Saat ini WWF juga tengah mengadakan sejumlah kegiatan untuk mengantisipasi kebakaran hutan, yakni memfasilitasi masyarakat dalam peningkatan kapasitas pengendalian kebakaran hutan dan lahan, sosialisasi zero burning, serta peningkatan kesadaran bahaya kebakaran. Tak hanya itu, WWF Indonesia juga sedang mensosialisasikan dan mempromosikan zero burning dan sistem manajemen kebakaran kepada sektor swasta, memfasilitasi antar instansi pemerintah di daerah untuk mensinergikan upaya pengendalian kebakaran hutan dan lahan, serta mendorong pemerintah daerah untuk menerbitkan perda yang mengatur pengendalian kebakaran hutan dan lahan,” ungkap Dedi.
Tentang WWF Indonesia
WWF adalah organisasi konservasi global yang mandiri dan didirikan pada tahun 1961 di Swiss, dengan hampir 5 juta suporter dan memiliki jaringan di lebih dari 100 negara. Di Indonesia, WWF hadir sejak tahun 1962 untuk program badak bercula satu di Ujung Kulon, menjadi yayasan pada tahun 1998, dan bergiat di lebih dari 25 wilayah kerja di 17 propinsi. Misi WWF-Indonesia adalah menyelamatkan keanekaragaman hayati dan mengurangi dampak ekologis aktivitas manusia melalui: Mempromosikan etika konservasi yang kuat, kesadartahuan dan upaya-upaya konservasi di kalangan masyarakat Indonesia; Memfasilitasi upaya multi-pihak untuk perlindungan keanekaragaman hayati dan proses-proses ekologis pada skala ekoregion; Melakukan advokasi kebijakan, hukum dan penegakan hukum yang mendukung konservasi, dan; Menggalakkan konservasi untuk kesejahteraan manusia, melalui pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Untuk informasi selengkapnya, klik www.wwf.or.id atau www.panda.org
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Kerusakan Terumbu Karang Akibat Bom Ikan
Bom ikan menyebabkan karang rusak |
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km dan memiliki lebih dari 17.000 pulau yang dikelilingi oleh terumbu karang. Diperkirakan sekitar 51% terumbu karang di Asia Tenggara dan 18% dari terumbu karang di dunia berada di Indonesia. Sebagian besar dari terumbu karang ini bertipe terumbu karang tepi (fringing reef), berdekatan dengan garis pantai dan mudah dijangkau oleh masyarakat sekitar. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati kelautan tertinggi di dunia.
Ketergantungan yang tinggi negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia terhadap sumber daya laut menyebabkan nelayan ingin menagkap ikan dalam jumlah banyak melalui cara yang mudah yaitu dengan cara merusak (destructive fishing). Beberapa praktek penangkapan ikan dengan cara merusak antara lain penggunaan pukat harimau (trawl), penggunaan bom (dynamite fishing), dan penggunaan racun potas (cyanide fishing). Penggunaan dynamite dan cyanide fishing selain dapat menghabiskan populasi ikan, juga mengakibatkan kerusakan ekosistem di sekitarnya (terumbu karang) dan membahayakan keselamatan nelayan. Aktivitas destructive fishing ini mengancam 88% terumbu karang Asia Tenggara.
Salah satu contoh kasusnya yaitu di Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu yang terletak di sebelah utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta memiliki 110 buah pulau. Kepulauan Seribu terkenal dengan keindahan terumbu karang dan ikan-ikannya. Hal ini tentu saja menarik perhatian komunitas sekitar untuk menangkap ikan-ikan cantik itu dan menjualnya di Jakarta. Pencari ikan hias menyelam di sekitar terumbu-terumbu karang untuk mencari ikan hias (biasanya jenis anemone). Untuk menangkap anemone, mereka menyemprotkan potas yang disimpan dalam botol aqua ke anemone yang berada di terumbu karang.
Bagaimanakah pengaruh potas dalam kerusakan terumbu karang? Dalam air laut, potas akan terurai menjadi sodium dan ion potassium. Pada manusia, potas dapat menghentikan transportasi haemoglobin, begitu pula pada ikan. Bila air di sekitar ikan tecemar oleh potas, maka suplai oksigen pada ikan semakin berkurang dan menyebabkan ikan tersebut pingsan. Sehingga tidak berapa lama mereka kembali menyelam, dan tinggal memunguti ikan ikan hias yang pingsan. Penyemprotan potas berulang kali pada terumbu karang juga mengakibatkan terjadinya pemutihan dan kematian terumbu karang. Setiap penyemprotan potas akan menjangkau area terumbu karang seluas 4 x 4 meter. Lama-kelamaan terumbu karang akan mati. Tak ada ikan lagi, karena ikan ikan membutuhkan terumbu karang sebagai rumah dan habitatnya.
Kasus lainnya berada di Teluk Kiluan, Lampung yang terletak di titik pertemuan antara arus Samudra Hindia dengan perairan Selat Sunda. Pada bulan Februari-April 2009, marak terjadi penangkapan lobster menggunakan bom ikan dan potas di Teluk Kiluan. Kapal pengebom ikan beroperasi dengan cara berhenti di depan perairan Teluk Kiluan. Dari kapal besar, nakhoda kapal akan menurunkan perahu jukung yang berisi pendayung, pencari ikan, dan pengebom ikan. Ketika sumber ikan sudah ditemukan, pengebom akan turun menyelam dan mengebom terumbu karang sehingga ikan dan terumbu karang mati. Ikan yang biasanya dicari adalah ikan kerapu dan simba. Potas digunakan untuk menangkap lobster. Potas disemprotkan ke lubang-lubang pada terumbu karang tempat lobster tinggal. Akibat kegiatan menggunakan bom ikan, wilayah terumbu karang di perairan Teluk Kiluan rusak. Wilayah terumbu karang di perairan Teluk Kiluan diperkirakan seluas lima hektar. Sekitar separuhnya kini rusak akibat kegiatan pengeboman ikan.
Di Sulawesi Selatan, kerusakan terumbu karang akibat bom ikan juga terjadi. Saat ini, sekitar 55% terumbu karang di Sulawesi Selatan telah rusak akibat bom ikan. Cara penangkapan ikan seperti ini telah merusak ekosistem yang ada di bawah permukaan laut, termasuk terumbu karang Taman Nasional Takabonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Taman laut Takabonerate merupakan taman laut ketiga terindah di dunia yang memperoleh piagam penghargaan dunia pada pertemuan Internasional Kelautan (World Ocean Conference) di Manado, Sulut, 11 – 15 Mei 2009. Tidak hanya terumbu karangnya yang rusak, melainkan jutaan spesies biota laut yang unik bisa terancam akibat pemboman ikan ilegal itu.
Bom ikan biasanya terbuat dari potassium nitrate, batu kerikil, dan minyak tanah yang dimasukkan dalam botol-botol mulai botol minuman suplemen, botol bir, dan botol minuman keras. Berat setiap botol kurang lebih setengah hingga dua kilogram. Setiap botol bom ini memiliki spesifikasi berbeda-beda. Botol bom yang terbuat dari minuman suplemen umumnya digunakan mengebom ikan dalam jumlah yang kecil mulai 1–5 kuintal ikan. Sedangkan botol bom yang terbuat dari botol bir dipakai untuk mengebom ikan dalam jumlah yang besar hingga berton-ton. Satu bom seukuran botol minuman suplemen mampu mematikan ikan hingga radius 15 meter dari titik pengeboman sedangkan yang seukuran botol bir radiusnya 50 meter dari titik pengeboman.
Dengan banyaknya penangkapan ikan dengan cara merusak, terumbu karang yang kondisinya menurun akan kehilangan nilai karena menjadi kurang produktif. Suatu terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan hasil perikanan rata-rata 20 ton per tahun. Hasil suatu terumbu karang yang rusak akibat destructive fishing hanya 5 ton per tahun. Meskipun hanya sebagian yang rusak, terumbu karang tidak dapat pulih ke tingkat produktivitas tinggi. Terumbu karang yang telah dibom hanya memberikan keuntungan kecil sementara bagi pengebom ikan, namun memberikan kerugian besar yang berjangka panjang bagi masyarakat Indonesia.
Terumbu karang Indonesia adalah suatu dasar bagi struktur ekonomi dan sosial di kawasan ini, namun keadaannya dalam kondisi sangat terancam. Untuk mengelola terumbu karang dibutuhkan implementasi rencana pengelolaan yang menggabungkan koleksi data dasar status terumbu karang, hasil pemantauan yang terus menerus, strategi implementasi, dan pengelolaan yang adaptif. Karena setiap lokasi berbeda, maka strategi yang berskala luas mungkin saja dibutuhkan untuk mengelola sumberdaya secara lebih baik. Pengelolaan yang efektif akan membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas serta dukungan pendanaan. Karena banyak tekanan pada terumbu karang yang berakar dari masalah sosial dan ekonomi, pengelolaan juga harus melihat aspek lain. Upaya yang perlu ditekankan adalah pengentasan kemiskinan, mata pencaharian alternatif, perbaikan pemerintahan, dan peningkatan kepedulian masyarakat akan nilai terumbu karang dan perikanan serta ancaman yang dihadapi keduanya. Bila diinformasikan dengan baik dan didanai secara tepat, pemerintah setempat, LSM, tetua desa, dan segmen-segmen kunci industri wisata, dapat menjadi pemelihara sumberdaya pesisir yang sukses.
~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~~~ ~
FREEPORT PERAMPAS KEKAYAAN ALAM INDONESIA
JAYAPURA
– Kedatangan presiden SBY, di Jayapura, diharapkan bisa meninjau ulang
kontrak karya PT Freeport Indonesia di Tembaga Pura, Mimika, Papua.
Demikian diungkapkan Direktur Lembaga Analisa Kebijakan Daerah (Lakeda),
Lamadi de Lamato.
“Selama ini banyak hasil yang diambil PT Freeport dari perut bumi Papua, tetapi manfaat balik yang diberikan pada masyarakat asli Papua masih relative belum sesuai,” katanya di Jayapura, Minggu (21/11/2010).
“Selama ini banyak hasil yang diambil PT Freeport dari perut bumi Papua, tetapi manfaat balik yang diberikan pada masyarakat asli Papua masih relative belum sesuai,” katanya di Jayapura, Minggu (21/11/2010).
Menurut Lamadi Lamato, sesuai data yang baru-baru ini dipublikasikan di media massa, setiap harinya PT Freeport Indonesia menghasilkan 102 kilogram emas, di luar konsentrat tambang lainnya.
“Bayangkan
berapa besar keuntungan yang telah didapat. Tetapi dana yang diberikan
bagi masyarakat asli pemilik ulayat hanya satu persen, dan itupun
sampai saat ini masih menjadi persoalan karena diperebutkan banyak
pihak,” terangnya.
Untuk
itu Lamadi meminta presiden SBY dalam kunjungannya di Jayapura,
menyempatkan diri untuk membahas masalah kontrak karya Freeport ini.
Selain
pembahasan masalah kontrak karya Freeeport, Lamadi juga menuturkan,
hal lain yang tidak kalah pentingnya yang harus diluruskan oleh
presiden SBY adalah masalah rencana evaluasi undang-undang otonomi
khusus yang belum dilakukan.
Presiden
SBY dan rombongan dijadwalkan tiba di Jayapura, Minggu sore nanti, dan
akan melakukan serangkaian kegiatan di antaranya membuka kegiatan
pertemuan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) se-nusantara di Universitas
Cenderawasih Jayapura.
Selain
membuka pertemuan BEM se-nusantara itu, Presiden SBY juga akan memberi
pengarahan dalam pertemuan Penguatan Kapasitas Keuangan Daerah yang
rencananya digelar di Sasana Krida Kantor Gubernur Papua pada Minggu
malam.
Dalam acara tersebut, akan
dilakukan penandatanganan pakta Integritas bersama pihak DPRD,
bupati/walikota maupun pimpinan daerah antara Pemerintah Provinsi Papua
dan Papua Barat.
Diketahui,
kedatangan Presiden Republik Indonesia ke Papua, akan didampingi
pejabat Eselon I, antara lain dari KPK, Kementerian Dalam Negeri dan
Kementerian Keuangan.
“Bayangkan berapa besar keuntungan yang telah didapat. Tetapi dana yang diberikan bagi masyarakat asli pemilik ulayat hanya satu persen, dan itupun sampai saat ini masih menjadi persoalan karena diperebutkan banyak pihak”
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~