Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, awal tahun 2013 musibah
banjir kembali melanda kota Jakarta. Banjir tahun ini sedikit berbeda karena
lebih besar dibanding banjir tahun-tahun sebelumnya. Konon merupakan siklus
banjir besar lima tahunan. Yang bikin sedih, bajir tahun ini menelan puluhan korban
jiwa.
Maka sejak pertengahan Januari kemarin media massa kita pun
disesaki oleh pemberitaan banjir Jakarta. Media berlomba menjadi yang terdepan
dalam memberitakan banjir. Segala hal terkait banjir Jakarta diliput,
mendetail, dari berbagai sudut pandang, dari beragam angle – memenuhi media
massa, hingga seolah tak ada tempat lagi untuk berita lain.
Padahal sebenarnya bukan cuma Jakarta yang banjir, masih ada
Semarang, Jambi, Lampung dan daerah-daerah lain. Tapi karena merupakan ibu kota
negara, pusat perekonomian, dan pusat segala-galanya negara indonesia, maka
Jakartalah yang paling disorot.
Dan dari berita yang saya baca dan tonton, penyebab banjir
Jakarta dan juga daerah lain tetaplah sama. Sama dengan yang dijelaskan oleh
guru SD saya dulu. Sama dengan yang tertera di buku-buku pelajaran anak SD
hingga detik ini. Tiga penyebab utamanya tak lain:
1.
Sampah
2.
Hilangnya daerah resapan air
3.
Penggundulan hutan
Kenapa? Tak asing dengan tiga poin di atas? Memang.
Jangan sekali-kali kita menyalahkan air sebagai penyebab
banjir, lantaran sejak zaman bahuela jumlah air tetap sama; 97 persen di laut,
3 persen di darat. Dari 3 persen itu, dua per tiga nya menjadi es di pegunungan
dan kutub. Hanya satu per tiga nya saja yang menjadi pemenuh kebutuhan kita
sehari-hari untuk minum, mandi, mencuci dan lain-lain. Hanya sepertiga dari
tiga persen air bumi yang menjadi pemenuh hajat hidup tujuh milyar lebih
penduduk bumi! Sekali lagi, jumlah air tetap sama, perilaku kita terhadap air
(baik secara langsung maupun tidak) yang berubah, sehingga merubah perilaku air
terhadap kita.
Ngomong-ngomong tentang kebutuhan air, saya jadi sangaaat
bersyukur tinggal di Batam, provinsi Kepulauan Riau. Kota pulau ini nyaris tak
pernah bermasalah dengan air; tak pernah banjir seperti Jakarta, pun tak pernah
kekeringan seperti kawasan Indonesia bagian selatan. Di Batam hujan turun
sepanjang tahun tanpa mengenal musim hujan atau musim kemarau. Sungguh sebuah
anugerah indah dari Tuhan yang maha pemurah. Dan sungguh paragraf ini tiada
bermaksud mengecilkan hati siapa pun yang tak tinggal di Batam.
Batam yang semakin hari penduduknya semakin bertambah,(baca
kegalauan walikota batam di sini) memiliki lima buah waduk (atau dalam
istilah lokal disebut dam). Dam-dam tersebut dikelola oleh perusahaan air
bersih PT. Adhya Tirta Batam untuk kemudian disalurkan airnya ke rumah-rumah
warga. Lima dam tersebut belum angka final, karena masih akan bertambah seiring
sedang dibangunnya dam tembesi dengan kapasitas produksinya nanti diproyeksikan
600 liter/detik. Padahal lima waduk yang ada saat ini total produksinya sudah
mencapai 3535 liter/detik. Lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan air bersih
warga batam.
Sementara itu hanya ‘selangkah’ dari Batam ada Kota Tanjung
Pinang, ibukota provinsi Kepulauan Riau yang punya problematika serius dengan
air bersih. Meski jumlah penduduknya hanya seperlima dari penduduk batam,
pemkot Tanjung Pinang kelimpungan memenuhi kebutuhan air bersih warga
dikarenakan terbatasnya jumlah dam di kota itu.
Kondisi saat ini; satu kota Tanjung Pinang hanya dihandle
oleh satu dam bernama Dam Sei Pulai, berukuran 45 hektar, bervolume air
5.400.000 m3. Bandingkan dengan Batam yang salah satu damnya saja (dam
duriangkang) memiliki volume tampungan air 62.000.000 m3. Alhasil kesulitan air bersih di kota tanjung
pinang adalah sebuah keniscayaan.
Lima dam di kota Batam semuanya dikelilingi oleh hutan
lindung. Hutan lindung tersebut tentu amat besar perannya sebagai daerah
resapan air. Sayang, banyak ancaman mengintai hutan-hutan lindung tersebut
seperti perusakan hutan dan pembukaan lahan hutan untuk ladang dan
perkampungan.
Contohnya waktu saya ke jalan-jalan ke air pancur di tengah
hutan lindung dam muka kuning tiga tahun lalu, saya menjadi saksi bagaimana
hutan di pinggiran dam tersebut dirusak. Sepanjang perjalanan melintasi hutan
kami bertemu orang-orang yang sedang menebang pohon, dan menemukan lahan-lahan
terbuka bekas kebun yang sudah ditinggal pengolahnya. Itu tiga tahun lalu.
Keadaannya sekarang tentu lebih buruk lagi.
Mungkin orang-orang jahil itu berpikir ‘ah saya cuma ambil
tiga batang kayu kok’ atau ‘ah saya cuma mbabat lahan sedikit saja kok’. Tapi
bagaimana jika ada 100 bahkan 1000 orang berpikiran yang sama? Dampak yang
semula dikira kecil tentu tak lagi kecil. Keserakahan segelintir orang
berdampak buruk pada semua orang.
“Bumi mampu memenuhi kebutuhan semua manusia. Namun tidak
cukup untuk melayani segelintir manusia yang serakah.” ~ Mahatma Gandhi**
Dam Muka Kuning |
Menjaga kelestarian sumber air sungguh sebuah pekerjaan
berat buat sebagian orang indonesia. Sama beratnya dengan mematuhi larangan
membuang sampah di sungai. Jangankan sungai, di tempat wisata saja orang
indonesia bisa lho buang sampah sembarangan. Tega gitu mengotori tempat mereka
mencari ketenangan. Tentang ini pernah saya bahas panjang lebar di sini.
Kebutuhan akan air terus meningkat seiring bertambahnya
jumlah penduduk, sementara itu kualitas dan kuantitas air terus menurun. Maka
dibutuhkan komitmen kita semua untuk memelihara kelestarian sumber daya air.
Memelihara kelestarian sumber daya air, berarti memelihara kelestarian
lingkungan hidup, berarti memelihara kelangsungan hidup umat manusia. Jangan
tunggu kesulitan dan musibah datang melanda baru kita sibuk mau memulai. Think
big, act small.
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan
perbuatan tangan manusia. Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari
(akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)”
(Q.S Ar-Rum: 41)***
Dam Duriangkang |
Air adalah sumber kehidupan. 70% permukaan bumi kita adalah
air. 70% tubuh kita terdiri dari air. Air memang sumber daya alam yang dapat
diperbaharui, namun kualitas dan kuantitasnya sangat bergantung pada cara kita
mengelolanya.
Mari jaga keseimbangan ekologi air demi kelangsungan hidup
kita. Caranya bisa dimulai dari hal yang sederhana; tidak membuang sampah
sembarangan, dan tidak menganggu serta merusak sumber air dan kawasan di
sekitarnya. Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Kalau bukan kita yang memulai,
siapa lagi?