Oleh: Nurbing Asselayari
MENJELANG siang, langit bertambah terang. Kami (bersama siswa yang saya bina) tiba di tangga masuk ke Dusun Gantarang Lalang Bata (selanjutnya ditulis ‘Gantarang’ saja), Kabupaten Kepulauan Selayar. Pohon-pohon raksasa yang rindang menghalangi terik mentari yang panas.
Dusun Gantarang terletak di atas bukit menjulang. Sekeliling dusun ini diapit hutan hijau yang menurun berlembah, berjurang. Bukit-bukit berhutan padat seakan membentuk lingkaran mengelilingi dusun tua tersebut.
Di sebelah timur nampak laut biru luas terhampar tenang menyejukkan. Laut yang berombak besar meninggalkan kesan kejam pada karang-karang tepi pantai yang kokoh.
Di depan kami deretan rumah panggung warga berjejer tak beraturan. Tepat di jalan masuk tersebut berdiri sebuah pohon beringin ‘berjenggot’ dan tiga pohon kapok raksasa di pinggir kuburan.
MENJELANG siang, langit bertambah terang. Kami (bersama siswa yang saya bina) tiba di tangga masuk ke Dusun Gantarang Lalang Bata (selanjutnya ditulis ‘Gantarang’ saja), Kabupaten Kepulauan Selayar. Pohon-pohon raksasa yang rindang menghalangi terik mentari yang panas.
Dusun Gantarang terletak di atas bukit menjulang. Sekeliling dusun ini diapit hutan hijau yang menurun berlembah, berjurang. Bukit-bukit berhutan padat seakan membentuk lingkaran mengelilingi dusun tua tersebut.
Di sebelah timur nampak laut biru luas terhampar tenang menyejukkan. Laut yang berombak besar meninggalkan kesan kejam pada karang-karang tepi pantai yang kokoh.
Di depan kami deretan rumah panggung warga berjejer tak beraturan. Tepat di jalan masuk tersebut berdiri sebuah pohon beringin ‘berjenggot’ dan tiga pohon kapok raksasa di pinggir kuburan.
Beberapa meter dari tempat tersebut terlihat sebuah mesjid yang dikelilingi pagar semen berwarna tanah. Mesjid tersebut bernama Mesjid Awaluddin, yang merupakan mesjid tertua di tanah asal para opu ini.
Menurut Kepala Dusun Gantarang, Muh. Asrul DM, mesjid tersebut dibangun pada abad ke-16 pada masa pemerintahan I Pangali Sultan Patta Raja. Mesjid tersebut memiliki 16 tiang penyanggah.
Dinding, atap, dan lantai mesjid telah direnovasi. Sebuah beduk tua yang diperkirakan berusia ratusan tahun masih ada dalam mesjid tersebut. Di depan mesjid, di luar pagar, terbaring sebuah meriam tua.
Beberapa meter ke timur terdapat makam Datok Ri Bandang, pembawa agama Islam pertama ke Gantarang. Di dekat makam Datok Ri Bandang ada sebuah lobang yang disebut Pakkojokang.
Kami berjalan ke timur, dan menemukan kumpulan batu bersusun. Menurut kisah Kepala Dusun Gantarang, susunan batu gunung tersebut adalah pagar atau benteng (bata) yang mengelilingi dusun. Sebagian besar batu-batu itu telah hilang ke jurang. Sebelum mencapai lokasi pintu masuk di sebelah timur tersebut, kami sempat terpesona oleh hamparan laut luas tepat di bawah kami.
Menyaksikan berbagai situs yang ada di dusun tersebut, dan potensi hutan serta pantai yang hanya 1 km jaraknya ke timur, maka sangat disayangkan apabila wilayah bersejarah ini terus ditelantarkan.
Di sini ada peradaban tua, sangat tua. Bahkan kepala Dusun Gantarang menyebut masih ada praktek kebudayaan animisme seperti membakar ‘dupa’ pada waktu tertentu.
Kebiasaan yang sama juga masih dipraktekkan di Dusun Lalemang yang merupakan wilayah kekuasaan Sultan Gantarang selain Bessorang. Kebiasaan ini dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu, misalnya 27 Rajab, dan 10 Muharram. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum Islam ada kepercayaan yang mengakar di wilayah Gantarang, Hindu-Budha-animisme.
Wilayah kekuasaan Sultan Gantarang sangat luas, namun digerogoti oleh penjajah Belanda sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Dusun Gantarang. Wilayah-wilayah yang tersisa akhirnya hanya Lalemang dan Bessorang. Di Dusun Bessorang yang memiliki kondisi geografis yang sama dengan Dusun Gantarang juga terdapat meriam tua. Dekat dusun Lalemang juga terdapat pekuburan tua yang bernama Tanatoa.
Ada empat dusun tua yang masih menyisakan bukti-bukti keberadaannya di dekat Dusun Lalemang, yakni Etara di sebelah barat, Depa dan Kajuetang serta Tanahtoa di sebelah timur. Warga keempat dusun tersebut dan dusun-dusun lainnya yang tidak terekam sejarah menyingkir ke wilayah barat, seperti Bahorea ratusan tahun silam.
Mendengarkan penjelasan Kepala Dusun Gantarang seperti membaca kisah kolosal dalam novel sejarah. Ada seonggok peradaban tua yang tertanam dalam-dalam di bawah bumi kita di sebelah timur. Sebuah peradaban yang lahir bersamaan dengan hancurnya Peradaban Islam di Jazirah Merah pada masa lalu akibat praktek hedonisme para pejabat-pengusahanya.
Penguasa pada zaman ini pun memamerkan kecenderungan yang sama. Mereka menghukum si warga dari golongan terlantar yang mencuri karena kelaparan, sementara gemar mendiamkan pejabat atau pengusaha yang korup-kejam-diskriminatif-amoral.
Para penguasa berpura-pura memasang jubah religius ataupun serius, tetapi di sisi lain melakukan demonstrasi kekejaman, diskriminasi, dan antisosial tanpa kepura-puraan.
Manusia-manusia modern lebih menyukai berdiam di atas permadani ke-egoisan ketimbang bergerak bersama segerombolan petani dan nelayan berpeluh kotoran. Nurani penguasa modern tereksekusi oleh kebiasaan-kebiasaan hedonis yang memasuki rumah-rumah berpagar menjulang yang menyimbolkan keangkuhan.
Fenomena ini membuat mereka alpa akan situasi warga terpencil yang kian terlantar. Akankah Dusun Gantarang mengalami nasib sama dengan dusun-dusun terpencil lainnya, dikucilkan digilas oleh pergeseran peradaban di sebelah barat? Saatnya bergerak bersama, peduli
Menurut Kepala Dusun Gantarang, Muh. Asrul DM, mesjid tersebut dibangun pada abad ke-16 pada masa pemerintahan I Pangali Sultan Patta Raja. Mesjid tersebut memiliki 16 tiang penyanggah.
Dinding, atap, dan lantai mesjid telah direnovasi. Sebuah beduk tua yang diperkirakan berusia ratusan tahun masih ada dalam mesjid tersebut. Di depan mesjid, di luar pagar, terbaring sebuah meriam tua.
Beberapa meter ke timur terdapat makam Datok Ri Bandang, pembawa agama Islam pertama ke Gantarang. Di dekat makam Datok Ri Bandang ada sebuah lobang yang disebut Pakkojokang.
Kami berjalan ke timur, dan menemukan kumpulan batu bersusun. Menurut kisah Kepala Dusun Gantarang, susunan batu gunung tersebut adalah pagar atau benteng (bata) yang mengelilingi dusun. Sebagian besar batu-batu itu telah hilang ke jurang. Sebelum mencapai lokasi pintu masuk di sebelah timur tersebut, kami sempat terpesona oleh hamparan laut luas tepat di bawah kami.
Menyaksikan berbagai situs yang ada di dusun tersebut, dan potensi hutan serta pantai yang hanya 1 km jaraknya ke timur, maka sangat disayangkan apabila wilayah bersejarah ini terus ditelantarkan.
Di sini ada peradaban tua, sangat tua. Bahkan kepala Dusun Gantarang menyebut masih ada praktek kebudayaan animisme seperti membakar ‘dupa’ pada waktu tertentu.
Kebiasaan yang sama juga masih dipraktekkan di Dusun Lalemang yang merupakan wilayah kekuasaan Sultan Gantarang selain Bessorang. Kebiasaan ini dilaksanakan pada bulan-bulan tertentu, misalnya 27 Rajab, dan 10 Muharram. Hal ini menunjukkan bahwa sebelum Islam ada kepercayaan yang mengakar di wilayah Gantarang, Hindu-Budha-animisme.
Wilayah kekuasaan Sultan Gantarang sangat luas, namun digerogoti oleh penjajah Belanda sebagaimana dijelaskan oleh Kepala Dusun Gantarang. Wilayah-wilayah yang tersisa akhirnya hanya Lalemang dan Bessorang. Di Dusun Bessorang yang memiliki kondisi geografis yang sama dengan Dusun Gantarang juga terdapat meriam tua. Dekat dusun Lalemang juga terdapat pekuburan tua yang bernama Tanatoa.
Ada empat dusun tua yang masih menyisakan bukti-bukti keberadaannya di dekat Dusun Lalemang, yakni Etara di sebelah barat, Depa dan Kajuetang serta Tanahtoa di sebelah timur. Warga keempat dusun tersebut dan dusun-dusun lainnya yang tidak terekam sejarah menyingkir ke wilayah barat, seperti Bahorea ratusan tahun silam.
Mendengarkan penjelasan Kepala Dusun Gantarang seperti membaca kisah kolosal dalam novel sejarah. Ada seonggok peradaban tua yang tertanam dalam-dalam di bawah bumi kita di sebelah timur. Sebuah peradaban yang lahir bersamaan dengan hancurnya Peradaban Islam di Jazirah Merah pada masa lalu akibat praktek hedonisme para pejabat-pengusahanya.
Penguasa pada zaman ini pun memamerkan kecenderungan yang sama. Mereka menghukum si warga dari golongan terlantar yang mencuri karena kelaparan, sementara gemar mendiamkan pejabat atau pengusaha yang korup-kejam-diskriminatif-amoral.
Para penguasa berpura-pura memasang jubah religius ataupun serius, tetapi di sisi lain melakukan demonstrasi kekejaman, diskriminasi, dan antisosial tanpa kepura-puraan.
Manusia-manusia modern lebih menyukai berdiam di atas permadani ke-egoisan ketimbang bergerak bersama segerombolan petani dan nelayan berpeluh kotoran. Nurani penguasa modern tereksekusi oleh kebiasaan-kebiasaan hedonis yang memasuki rumah-rumah berpagar menjulang yang menyimbolkan keangkuhan.
Fenomena ini membuat mereka alpa akan situasi warga terpencil yang kian terlantar. Akankah Dusun Gantarang mengalami nasib sama dengan dusun-dusun terpencil lainnya, dikucilkan digilas oleh pergeseran peradaban di sebelah barat? Saatnya bergerak bersama, peduli
"Gerbang Utsman Bin Affan" dimana Dato Ribandang memasuki Gantarang |
"Gerbang Abu Bakar", pintu utama untuk memasuki Gantarang |
Sisa-sisa "tembok" batu setebal 130 cm yang mengelilingi Gantarang. Mungkin "bata" inilah yang menjadi asal usul penyebutan Gantarang Lalangbata (Gantarang yang di dalam tembok batu |
"Gerbang Umar Bin Khattab" yang menuju Pelabuhan Turungang dan Ngapalohe |
Gerbang Ali Bin Abi Thalib" yang menuju gua persembunyian di lereng gunung bagi perempuan dan anak-anak ketika terjadi serangan |
Tapak Kaki yang diyakini sebagai Tapak Kaki Nabi Muhammad SAW ketika "mencari" Pusat Bumi |
Gantarang juga disebut sebagai "Makka Keke" (Mekah Kecil). Di sini ditemukan simbol Ka'bah tempat dimana para "jemaah haji" melakukan Tawaf. |
Masjid Gantarang Mesjid Tertua di Selayar yang konon dibangun oleh Dato Ribandang |
Penyanggah tengah Masjid Gantarang yang terbuat dari pohon cabe |
Jubah Khatib dan tongkat yang dipegangnya saat membacakan Khutbah Jum'at yang berbahasa Arab |
Tongkat Khatib yang berisi pedang tajam pada kedua sisinya |
Mimbar tempat dimana Khatib membacakan Khutbah Jum'at diapit 2 bendera bertuliskan dua kalimat Syahadat |
Bedug yang konon dibuat pada era Dato Ribandang |
Makam Dato Ribandang |
Batu nisan di belakang mesjid dengan tulisan Arab: Shollallahu 'alaihi wa sallam |
Tidak jauh dari simbol Ka'bah, terdapat "Pakkojokang" (tempat meraba), mungkin semacam simbol Hajar Aswad |
Tangga "asli" dari batu menuju Gantarang di puncak bukit (sebelah kiri). Di sebelah kanan sudah dibuat tangga permanen |
Pelabuhan "Turungan" tempat dimana Dato Ribandang berlabuh sebelum menuju Gantarang |
Galery Foto : Selayar Online
Semoga bermanfaat
Semoga bermanfaat
Salam buat plh Indonesia