Hanya Untuk Berbagi Informasi, Tukar Pengalaman tentang Jernihnya Air
Sungaiku,
Tapi Sayang, semuanya tidak mungkin lagi kita temui sekarang ini,
Berikut Pengalamanku, Semoga Bermanfaat
To PLH Indonesia Salam Kenal dariku
Pagi ini saya menghadiri seminar di hari kedua dari 4th GlobalTech Workshop on Challenges & Solutions for Sustainable Water Management in Urban Centres yang tahun ini diadakan di kampus saya yang tercinta, NTU Singapura
Dari beberapa panelis yang mempresentasikan hasil kerja dan pemikiran mereka, saya sangat ingin berbagi dengan teman-teman pembaca, tentang yang satu ini, judulnya ‘Ciliwung River Project 2012-2015′ oleh Professor Christophe Girot dari ETH Zurich.
Di slide pertama, saat beliau menunjukkan judul besar presentasi beliau tersebut saya tertegun. “Loh kok mereka ngerjain proyek ini?”. Di slide berikutnya, saya melihat nama universitas besar di Indonesia seperti UI, ITB, IPB, dan Untar diterakan di kolom ‘Other collaborators’. *Wow!* Bahkan dalam proyek ini pun, PT dalam negeri tidak terlibat sebagai aktor utama.Hampir semua nama peneliti yang tergabung dalam tim utama dan kolaborator utama adalah peneliti dari luar Indonesia, yaitu sebagian dari eropa barat dan sebagian lainnya dari Singapura. Pertanyaannya adalah dimanakah para peneliti Indonesia saat grup ini sibuk gali-gali tanah di pinggiran Kali Ciliwung untuk menginvestigasi tekstur tanah yang dilapisi ‘sedimen plastik’?
Jika dipatut-patut, maka wajar Prof Girot merekrut kolega-koleganya dari ETH dan Singapura. Karena memang proyek ini didanai setengah oleh ETH dan setengahnya oleh NRF (National Research Foundation) Singapura. Sedangkan peneliti/mahasiswa Indonesia hanya jadi ‘kacung’ dalam proyek ini. Tapi, haruskah kaum pribumi selalu menjadi ‘buruh murah’, bahkan di tanah airnya sendiri?
Ngomong-ngomong, saya senang ada sekelompok orang yang mau memikirkan solusi untuk kasus Ciliwung, yang kita sama-sama tahu, sangat kronis ini. Tapi, kenapa proyek ini tidak diinisiasi oleh kampus-kampus dalam negeri yah? Karena tidak adanya dana? Atau pemerintah Kota Jakarta atau pemerintahan nasional sudah menyerah dengan kompleksitas masalah ini? Saya heran kenapa Pemprov DKI sibuk membangun ke atas (gedung dan jalur monorail (?)) tapi tidak mengacuhkan kebobrokan di bawah (sistem drainase dan pembuangan sampah). Bagaimanapun, kita harus mengakui, bahwa ada andil pihak investor dan perhitungan ‘opportunity cost’ yang selalu di benak mereka, dalam masalah ini.
Dari materi yang beliau sampaikan, ada beberapa hal penting yang menurut saya menarik:
1. Masalah Ciliwung sudah sangat kompleks. Teori-teori yang ada di textbook tidak dapat diaplikasikan sangking kompleksnya masalah ini. “Frankly speaking, I throw away all the knowledge I learned in the textbooks and think how I can go about this extreme case,” kata Prof Girot.
2. Kota jakarta ‘tenggelam’ sebanyak 20 cm per tahun dikarenakan sangat banyaknya air tanah yang dipompa ke permukaan untuk kegunaan industri dan perumahaan. Jakarta tidak punya reservoar air di permukaan tanah sebagai sumber air bersih. Semua air berasal dari air tanah yang tidak henti-hentinya dipompa sebesar-besarnya demi kebutuhan masyarakat dan kepentingan pemilik modal. Tidak adakah perhatian pemerintah tentang isu ini? Aksi legislatif harusnya punya peran disini.
3. Pemda DKI (di daerah hilir atau downstream) dan pemda Jawa Barat (di daerah hulu atau upstream) tidak pernah mengangkat isu banjir tahunan yang melanda Jakarta. “Of course, they don’t talk to each other,” kata Prof Girot sambil menunjuk peta Provinsi Jawa Barat dan DKI dengan pointernya. Seharusnya yang tinggal di hulu punya kepedulian sosial (social responsibility) untuk menjaga konservasi air di daerah mereka, dan yang di hilir punya keinginan untuk bebas dari bencana endemik ‘banjir’ yang terus merong-rong mereka. Sekedar informasi, Ciliwung berhulu di sekitar Ciawi. Nah, seiring berjalannya waktu, sedikit demi sedikit daerah yang dulunya hutan diubah jadi persawahan dan perumahan di wilayah ini. Tentunya hal ini mempengaruhi jumlah air yang dapat ditahan di bawah tanah, dan berapa besar debit air yang akan mengalir ke daerah hilir. Jika sawah-sawah ini dijual kepada para kontraktor real estates, maka banjir langganan di Jakarta akan mendapat predikat mengenaskan.
4. Perkembangan kota Jakarta adalah tanpa rencana tata kota jangka panjang yang jelas. Mungkin perencanaan tata kota di ibukota ini tidak akan ‘seenaknya’ jika ada kontrol dari pemerintah pusat. Jadi, walaupun gubernurnya ganti, agenda jangka panjang tata kota tetap dijadikan agenda utama.
5. Pemerintah dan warga Jakarta masih tidak acuh dengan isu lingkungan dan kesehatan. hal ini dilihat dari masih banyaknya warga yang menggunakan atap asbes(tos). Pemerintah pun masih memberikan ijin untuk produksi atap dari bahan ini. Padahal, menghirup atau terekspos dengas serat asbes ini dalam waktu yang lama dapat menyebabkan penyakit pernafasan seperti asbestosis dan kanker paru-paru. Lagi-lagi peran pemerintah sebagai ‘pengatur’ masih perlu diingatkan. Kemudian, masalah sampah dan sanitasi masih belum bisa lepas dari masalah Kali Ciliwung ini. Tumpukan sampah plastik sudah dapat dilihat dari daerah Tanjung Barat (masih terhitung hulu), dan tentunya makin ke hilir makin buruk. “I would call it plastic lasagna.” ujarnya prihatin dengan tekstur tanah di pinggiran Ciliwung.
Mendengar presentasi beliau, saya rasa solusi yang tepat untuk masalah Ciliwung ini bukanlah sebuah keputusan satu arah. Tentunya bukan dengan meratakan pemukiman kumuh di pinggir Ciliwung lalu yang lalu dihijaukan, atau dengan mengeruk dasar sungai yang sudah tebal sedimen plastiknya saja, tapi sebuah solusi holistik yang bisa mencabut endemik banjir dari Jakarta, menjernihkan kembali aliran Kali Ciliwung, dan juga memikirkan nasib warga yang telah menganggap Ciliwung adalah rumah mereka. Prof Girot menambahkan, “We must not come there as The Mighty you know it all, but we have to put our feet on their shoes.”
Prof Girot tidak janji bisa menghasilkan sebuah megasolution di akhir tahun 2015. Tapi setidaknya dia dan tim akan berusaha merumuskan beberapa kemungkinan solusi yang tepat untuk masalah kompleks ini. Sekedar informasi, proyek ini hanya ditargetkan untuk come up dengan possible solutions. Perihal, pengambilan keputusan dan eksekusinya akan dikembalikan kepada para stakeholders, yaitu investor, dan kekuatan politik yang berkuasa. Sekarang, tim peneliti ini sedang rehat karena pilkada DKI sudah dekat. Jadi, mari kita sama-sama mendoakan, semoga gubernur yang terpilih nanti menjadikan masalah Ciliwung menjadi program kerja beliau dan serius dalam eksekusinya di lapangan.
Laporan kunjungan ke Kali Ciliwung oleh tim di bawah Prof Girot, Januari 2011 lalu, bisa diunduh disini.
Akhir kata, saya berharap, semoga para pemilik kekuasaan dapat lebih peka dengan masalah-masalah sosial dan lingkungan yang ada di daerah kekuasaannya. Lalu, untuk DIKTI, semoga dana penelitian untuk kampus-kampus tidak diselewengkan. Untuk mahasiswa, saya mengajak, mari keluar dari laboraturium kita yang yang nyaman ke lingkungan sekitar, yang masih jauh dari kondisi ideal yang tertera di buku cetak. Dan untuk para penerima beasiswa dari pemerintah, saya berpesan, gunakanlah kesempatan belajar yang masih ada di tangan kalian dengan sebaik-baiknya. Jika Indonesia salah tempat dalam mengucurkan dana, maka jangan sampai Negara ini kecewa dua kali dengan ketidakbersyukuran kalian. Yuk, berbuat hal yang besar untuk negara yang besar ini *literally*.
Kondisi sungai di Jakarta amat parah, berikut galery fotonya :
Jangan ada yang disalahkan, jangan ada yang menuduh, Marilah bersama-sama benahi Jakarta ke arah yang lebih baik.