Perjalanan dari kota Banda Aceh dimulai, pukul 10.00 WIB saya mulai
duduk manis di sebuah bus AKAP dengan belaian AC yang memanjakan mata
ini untuk segera mengunjungi alam mimpi. Namun tak berselang lama,
seorang lelaki yang berprofesi sebagai seorang pengacara memulai sebuah
percakapan dalam sebuah perjalanan panjang yang akan saya lalui. Obrolan
yang ringan mulai dari menanyakan asal muasal hingga menanyakan riwayat
kehidupan dimulai. Tanpa terasa akhrnya beliau harus turun di sebuah
kota yang saya lupa namanya. Alhasil tinggallah saya sendiri di sepasang
bangku busa tersebut.
Pagi masih terlalu muda saat bus AKAP tersebut mengantarkan langkah kaki kecil saya di kota medan. Pukul 03.00 WIB saat itu masih sangat sepi untuk menemui aktivitas penduduk di kota medan. Setelah sejenak bermalas-malasan di terminal bus AKAP tersebut, saatnya beranjak untuk memulai perjalanan ke Kabupaten Karo. Karena saya bingung dengan trayek angkot di Kota Medan, saya memilih menggunakan jasa becak motor pada fajar tersebut.
Dengan obrolan ringan sepanjang perjalanan yang masih lenggang kala itu, tak terasa telah terantarkan menuju kumpulan minibus yang siap untuk mengantarkan penumpang menuju Kabupaten Karo. Sensasi ketika menaiki mini bus ini sangat terasa, serasa adrenalin terpacu ke ubun ubun. Kelincahan supir yang lebih mengarah ke ngebut membuat saya harus berpegangan erat pada sebatang besi legam di samping jendela mini bus tersebut. Aksi sang kondektur yang berpindah dari pintu depan ke pintu belakang mini bus juga tak kalah menarik, karena benpindah menggunakan atap minibus tersebut. Tanpa ada rasa takut maupun ragu, kondektur tetap bergerak lincah di atap minibus tersebut untuk berpindah dari satu pintu ke pintu yang lain.
Sekitar 60 menit akhirnya saya sampai di Kaban Jahe, ibukota dari Kabupaten Karo. Tanpa menunggu lama segera saya bergerak menuju ke desa tongging untuk merasakan derai air terjun sipiso-piso. Menaiki minibus yang kondisi serta laju tak jauh beda dari minibus jurusan Medan – Kaban Jahe. Sesampainya di sebuah pertigaan, saya melanjutkan perjalanan menggunakan becak motor milik seorang pria yang terlihat guratan perjuangan hidupnya dari wajah yang tertutupi oleh sebuah helm usang.
Sesampainya di kawasan air terjun sipiso-piso, ternyata bias melihat dana toba sisi selatan secara langsung. Wah berarti sudah dua kali saya melihat danau toba, hehehee.
Di sebelah parkiran beralaskan aspal, terlihat jelas kucuran dari tingginya air yang tertarik gravitas tersebut. Dan sembari melihat ke jalan beton bertingkat yang menuju ke dasar dari air terjun setinggi 125 meter tersebut.
Perlahan tapi pasti, segera langkah sempoyongan yang tertarik menuju inti bumi akibat beban carier yang tertancap di puncak membuat keringat seakan mulai menetes mengikuti alur wajah ini.
Tak berapa lama ketika hampir mencapai titik terendah air terjun tersebut, sempat mengengadah sembari mengekspresikan wajah kaget. “GIMANA NAIKNYAAAAAA……”
Terjal dan panjang, terlebih dengan beban carier ini, namun itu urusan nanti. Sekarang saatnya bermain slow speed dengan jutaan butir air yang terhambur di atmosfer ini.
Cukup jauh jarak saya dengan titik jatuhnya air tersebut, namun deburan masih terasa menutupi sedikit demi sedikit permukaan lensa yang telah terpasang filter GND.
Tak berapa lama ketika dibawah, saatnya kembali ke parkiran untuk mengisi tenaga yang telah hilang. Langkah gontai yang terkadang terhenti kemudian meletakkan sejenak carier ini di kulit bumi.
Entah berapa lama waktu yang saya perlukan untuk kembali lagi ke parkiran tersebut. Setelah memuaskan perut dengan menu rames, segera sejenak saya berjalan di sekitaran area wisata untuk sekedar melihat dan mengabadikannya dalam frame digital. Namun kabut saat itu terlalu pekat untuk dapat mengintip keindahan lain yang tersembunyi dalam tabirnya.
Karena kondisi langit saat itu yang mencirikan tanda – tanda akan hujan, segera saya berkemas untuk segera melanjutkan perjalanan ke brastagi. Tanpa menunggu lama segera saya menaiki becak motor untuk menuju ke persimpangan untuk menuju ke terminal Kabanjahe untuk segera bergerak menuju brastagi selagi hari belum terlalu gelap.
masih ada juga ternyata aksi corat coret di tempat wisata
Pagi masih terlalu muda saat bus AKAP tersebut mengantarkan langkah kaki kecil saya di kota medan. Pukul 03.00 WIB saat itu masih sangat sepi untuk menemui aktivitas penduduk di kota medan. Setelah sejenak bermalas-malasan di terminal bus AKAP tersebut, saatnya beranjak untuk memulai perjalanan ke Kabupaten Karo. Karena saya bingung dengan trayek angkot di Kota Medan, saya memilih menggunakan jasa becak motor pada fajar tersebut.
Dengan obrolan ringan sepanjang perjalanan yang masih lenggang kala itu, tak terasa telah terantarkan menuju kumpulan minibus yang siap untuk mengantarkan penumpang menuju Kabupaten Karo. Sensasi ketika menaiki mini bus ini sangat terasa, serasa adrenalin terpacu ke ubun ubun. Kelincahan supir yang lebih mengarah ke ngebut membuat saya harus berpegangan erat pada sebatang besi legam di samping jendela mini bus tersebut. Aksi sang kondektur yang berpindah dari pintu depan ke pintu belakang mini bus juga tak kalah menarik, karena benpindah menggunakan atap minibus tersebut. Tanpa ada rasa takut maupun ragu, kondektur tetap bergerak lincah di atap minibus tersebut untuk berpindah dari satu pintu ke pintu yang lain.
Sekitar 60 menit akhirnya saya sampai di Kaban Jahe, ibukota dari Kabupaten Karo. Tanpa menunggu lama segera saya bergerak menuju ke desa tongging untuk merasakan derai air terjun sipiso-piso. Menaiki minibus yang kondisi serta laju tak jauh beda dari minibus jurusan Medan – Kaban Jahe. Sesampainya di sebuah pertigaan, saya melanjutkan perjalanan menggunakan becak motor milik seorang pria yang terlihat guratan perjuangan hidupnya dari wajah yang tertutupi oleh sebuah helm usang.
Sesampainya di kawasan air terjun sipiso-piso, ternyata bias melihat dana toba sisi selatan secara langsung. Wah berarti sudah dua kali saya melihat danau toba, hehehee.
Di sebelah parkiran beralaskan aspal, terlihat jelas kucuran dari tingginya air yang tertarik gravitas tersebut. Dan sembari melihat ke jalan beton bertingkat yang menuju ke dasar dari air terjun setinggi 125 meter tersebut.
Perlahan tapi pasti, segera langkah sempoyongan yang tertarik menuju inti bumi akibat beban carier yang tertancap di puncak membuat keringat seakan mulai menetes mengikuti alur wajah ini.
Tak berapa lama ketika hampir mencapai titik terendah air terjun tersebut, sempat mengengadah sembari mengekspresikan wajah kaget. “GIMANA NAIKNYAAAAAA……”
Terjal dan panjang, terlebih dengan beban carier ini, namun itu urusan nanti. Sekarang saatnya bermain slow speed dengan jutaan butir air yang terhambur di atmosfer ini.
Cukup jauh jarak saya dengan titik jatuhnya air tersebut, namun deburan masih terasa menutupi sedikit demi sedikit permukaan lensa yang telah terpasang filter GND.
Tak berapa lama ketika dibawah, saatnya kembali ke parkiran untuk mengisi tenaga yang telah hilang. Langkah gontai yang terkadang terhenti kemudian meletakkan sejenak carier ini di kulit bumi.
Entah berapa lama waktu yang saya perlukan untuk kembali lagi ke parkiran tersebut. Setelah memuaskan perut dengan menu rames, segera sejenak saya berjalan di sekitaran area wisata untuk sekedar melihat dan mengabadikannya dalam frame digital. Namun kabut saat itu terlalu pekat untuk dapat mengintip keindahan lain yang tersembunyi dalam tabirnya.
Karena kondisi langit saat itu yang mencirikan tanda – tanda akan hujan, segera saya berkemas untuk segera melanjutkan perjalanan ke brastagi. Tanpa menunggu lama segera saya menaiki becak motor untuk menuju ke persimpangan untuk menuju ke terminal Kabanjahe untuk segera bergerak menuju brastagi selagi hari belum terlalu gelap.
masih ada juga ternyata aksi corat coret di tempat wisata