Puncak Gunung Sibayak |
Hari pertama. Wajah di depan lensa mengusik pemandangan pagi ini. Menyeringai lebar namun tak seperti serigala. Merintih pelan namun sama sekali tak mirip anak kucing yang mencari puting susu induknya. Melainkan lebih mirip anjing letih. Lidahnya menjulur, nafasnya terengah. Dan kedua bola matanya sayu saat memandang kamera di tanganku. Tenanglah, bentar lagi mereka datang. Bisikku, seraya mengelusnya. Bibir yang semula menyeringai kini mengerucut, panjang ke depan, seperti menanggung segunung kesal yang terkunci rapat di ujung bibir. Kulepaskan jemariku seraya mengambil tas kamera. Tatapannya bertambah sayu. Dan gerak nafasnya melambat. Aku masih tersenyum. Sudah dua jam sejak kami tiba di terminal Parluasan, Kecamatan Siantar, Sumatera Utara. Ini bukan pertama kalinya kami ngebolang bersama. Pun, bukan pertama kalinya menunggu di halte dan menjadi sorotan para kaum adam. Kebahagiaan tersendiri ketika melihat para anggota “Gerobak Pasir: Gerombolan Batak Payah Diusir” datang tepat waktu. Hampir tidak pernah. #Pelajaran1: Usahakan jangan bergadang jika esok harinya akan melakukan perjalanan, apalagi mendaki Gunung. Karena istirahat yang cukup adalah kunci ideal agar stamina tetap terjaga, dan juga biar tidak telat bangun.
Jangan tanya bagaimana ceritanya sehingga kami bisa dipertemukan menjadi sebuah team. Karena sejarahnya cukup panjang. Telah mengalami banyak sekali bongkar pasang anggota selama jangka waktu tiga tahun. Dan hingga terakhir, jadilah kiranya kami berenam yang tetap setia untuk melakukan perjalanan. Yang pasti, kesamaannya adalah kami sama-sama pelajar SLTA galau yang sedang butuh suatu hiburan untuk refreshing dan mengasingkan diri dari gemerlap ujian dan tugas dunia. Sebut saja, SBMPTN.
Pukul 10.20 kami membeli tiket seharga Rp.18.000 dan menaikkan barang ke bagasi bus sepadan. Petualangan pun dimulai, tak lupa kami menundukkan kepala kepada Sang Khalik untuk ekspedisi terakhir sebagai seorang pelajar. Setelah 1 jam 30 menit, bus berjalan semakin lambat. Macet ternyata membawa berkah, mungkin inilah salah satu cara Tuhan untuk membagikan rezeki ke tiap hambanya. Macet menjadikan peluang pedagang asongan masuk kedalam bus. Berusaha mencari rezeki di sebuah waktu yang bagi orang kebanyakan bahwa macet ini menyebalkan! Disinilah kita dapat belajar tentang hidup dan menghargai materi yang dipunya untuk tidak dihambur-hamburkan. Bahwasanya mencari receh Rp.500 ini tidaklah mudah.
Susah ya naik bus. Suara melengking Tina mengejutkan para penumpang lain. Wanita bertubuh tegap ini nampaknya sudah kesal tingkat dewa. Suara adzan berkumandang ketika kami tiba di Merek Situnggaling. Kami singgah di Warung Gurame sembari menunggu Antonio sholat. Dari Merek, kami naik ke angkot sampri jurusan Berastagi dengan ongkos yang lebih mahal Rp.30.000 dari harga biasanya Rp.22.000. Bukan hanya kenaikan harga BBM, hari libur ternyata mempengaruhi ongkos juga. Ini angkot atau gudang sih, Limbong menutup hidungnya. Aroma tak sedap mulai mengusik konsentrasi kami. Dua jam di angkot sampri terasa seperti lima jam.
Untuk menghemat waktu dan tenaga, kami memutuskan untuk naik travel dari berastagi menuju titik pendakian. Tarif yang ditawarkan bervariasi, mulai Rp.80.000 hingga Rp.110.000 tergantung hasil ceka-ceka supir dan penumpang #Pelajaran2: Jangan gampang percaya sama supir travel. Karena travel sangat banyak, jadi jangan takut kehabisan. Maka, bertindak sok jual mahal masih sangat diperlukan.
Belum setengah perjalanan, titik air membasahi kaca mobil. Hujan. Kami belum beruntung. Hanya ada dua pilihan, memulai pendakian dengan risiko bahaya yang tinggi atau memasang tampang kasihan agar diperbolehkan menetap di pos penjaga yang sangat kecil. Entah ada kegiatan apa sehingga banyak mobil angkutan umum (bukan angkot) yang parkir di depan pos. Merry sempat mengusulkan agar kami kembali ke desa Jaranguda setidaknya hingga hujan reda. Tetapi diantara kami tidak ada relawan yang mau menyambangi sang supir. Hujannya awet ini dek, balek aja ke balai desa. Suara bapak di belakang kami sampai di telingaku. Setelah bernegosiasi, pak supir bersedia dibayar Rp.50.000. Kami bergegas meninggalkan pos menuju balai desa setempat. #Pelajaran3: Harus menyiapkan banyak rencana serta antisipasi kemungkinan agar perjalanan tetap bisa lancar.
Hujan Berastagi menjadi penggiring perjalanan kami. Berpadu dengan mesin bergerak yang nampaknya sudah cukup tua. Kutatap satu persatu rekan seperjalanan, ah nampaknya mereka sudah terlelap dibuai hujan dengan gaya masing-masing. Ada yang meluk carier seolah memeluk seseorang, ada yang ngangguk-ngangguk, bersenderan, ada juga yang manis sekali seolah minta di foto ketika tidur.
Hari kedua. Seperti biasa, jika akan melakukan sebuah perjalanan maka hampir bisa dipastikan bahwa aku tidak akan telat bangun. Apalagi saat ini adalah saat-saat yang dinantikan, karena akan menjadi perjalanan terakhir sebagai seorang siswa. Walau faktanya aura pagi dan kenyamanan yang diberikan si tenda kuning tetap memaksa aku untuk terlelap dalam mimpi indah. Dalam nyanyian hujan yang mengharu biru. Akan tetapi seolah-olah ada bom atom yang akan segera meledak dan harus segera dilepaskan. Tak bisa tertahan. #Pelajaran4. Sebuah perjalanan akan memaksamu untuk lebih disiplin minimal terhadap diri sendiri.
Kami pun duduk leha-leha sejenak, disaksikan balutan simfoni pagi antara hijaunya pohon yang rindang dengan angin pedesaan. Menyatu riang. Dan kami pun hanyut dalam lamunan masing-masing. Imajinasiku kembali liar, membayangkan suatu saat nanti akan duduk lagi disini, bersama para Gerobak Pasir. Memandang pagi dengan secangkir teh hangat bersama sahabat tercinta. Terlalu indah untuk dibayangkan teman.
Pukul 8.10 Kami bersiap menuju Pos Penjaga. Langit seolah tak terlalu ikhlas untuk melepaskan kepergian kami, rintik-rintiknya menebarkan bau basah khas yang tertanam di muka tanah. Tina, Merry, Sintia dan Limbong ternyata sudah siap siaga, nampaknya mereka sedang merasakan aura romantisme dengan sengaja membiarkan dirinya diguyur gerimis. Sembari menunggu Antonio, akhirnya kami mengisi perbekalan perut dengan pecal di seberang jalan. #Pelajaran5: Banyak cara untuk berbagi, salah satunya adalah dengan melakukan perjalanan seperti ini.
Puncak Gunung Sibayak |
Pukul 8.40 Kami melengkapi syarat administrasi berupa kartu identitas dan biaya registrasi sebesar Rp.10.000. Berlanjut dengan meeting point untuk keberangkatan. Oh ya, kali ini Limbong bertindak sebagai penunjuk arah perjalanan (bahasa kerennya sih), karena hanya dia yang sudah pernah mendaki gunung sebelumnya. Walaupun sebenarnya Limbong pun tidak pernah melakukan pendakian Gunung Sibayak. Namun inilah nikmatnya backpacker, banyak berjalan, banyak yang dilihat, banyak dirasakan, banyak falsafah ilmu kehidupan yang dapat kita ambil juga darinya. Namun tetap berpatokan pada rute yang ditentukan. Rasa kepo memang ada sisi positifnya, tapi dalam hal mendaki gunung, bukan suatu pilihan yang tepat teman. Keselamatan adalah hal nomor satu, puncak hanya bonus. Ini yang selalu dikatakan Limbong.
Pukul 9.40 kami berada di depan pintu rimba. Pendakian dimulai. Jalan setapak ke puncak sangat jelas. Jadi kami tidak membutuhkan guide, kecuali bagi bule-bule kece nan imut. Sepanjang jalan pun tidak ada tantangan serius, hanya sebuah gua misterius yang menjorok satu meter kedalam. Trek pendakian cukup terjal di awal-awal, namun akhirnya sedikit lebih landai hingga menuju leher Gunung Sibayak. Terdapat genangan air semacam danau. Apabila musim kemarau, genangan air tersebut kering dan sangat bagus sebagai spot fotografi. Sayang sekali kami mendaki di musim hujan. Gerimis pula. #Pelajaran6 : Jangan cemas saat terjadi hal yang tidak diinginkan, tetap fokus dan waspada.
Menapaki akar-akar pohon, jalanan tanah, becek bekas hujan, dan hutan yang terasa menyegarkan. Di kejauhan terlihat pepohonan yang tersusun acak, namun memikat. Seperti dalam berada dalam lukisan tiga dimensi. Pukul 12.40 kami akhirnya sampai di puncak. Langsung mendirikan tenda di salah satu bukit yang tinggi agar bisa melihat pemandangan dengan jelas, namun kabut putih kian menebal sehingga daratan tak lagi terlihat. Hanya menyisakan warna putih yang terhampar luas. Biasanya puncak Gunung Sibayak ini akan sangat ramai ketika malam minggu dan hari-hari besar. Namun hari ini, kami menikmati puncak ini dengan khusuknya hanya berenam, di bawah tenda kuning yang baru saja berdiri, menahan dingin dan sesekali menahan lapar yang mulai datang menggelitik perut.
Sibayak begitu indah. Kiri dan kanannya adalah perbukitan yang sangat hijau. Benarlah kiranya kata banyak orang, bahwasanya untuk mencapai sesuatu yang indah ini memang tidak mudah, ibarat surga yang tersembunyi jauh sana. Butuh perjuangan untuk mencapainya.
Di puncak gunung ini kami merasa sangat kerdil sekali, bagai setitik makhluk yang bergerak di antara luasnya bumi. Pemandangan di bagian timur, selatan, barat, maupun utara terlihat dengan jelas. Namun sang mentari masih saja malu-malu mengintip kami. Dinginnya puncak Sibayak memaksa kami untuk tertidur pulas di dalam tenda, dan mendapati diri terbangun ketika pukul lima sore, hanya Antonio dan Limbong yang terjaga. Para bidadari masih betah dengan tidur cantiknya. Bahkan berlanjut tidur hingga malam hari. Hujan juga masih turun sehingga kami tak dapat melakukan banyak hal selain tetap berada di dalam tenda.
Hari ketiga. Malam pun berlalu, semua terbangun, dan tadaa…. kami kehilangan matahari. Sunrise telah meninggalkan kami dengan hanya menyisakan jejak kilau peraknya di ufuk timur. Ah, mungkin ini pertanda agar suatu saat nanti kami bisa menyaksikannnya lagi disini. Amin. Kehilangan sunrise tidak merusak hari ini. Kami mengisi waktu dengan mengumpulkan kerikil tajam yang berserakan. Tidur? Hei teman, manfaatkan waktumu untuk hal yang baik. Kerja sama team akan sangat mempengaruhi mood dan semangat seharian. Selain kami, juga terdapat beberapa pendaki lain yang sedang mendirikan tenda. Dan sepertinya para Gerobak Pasir belum bosan di puncak ini, sehingga kami memutuskan untuk bertahan hingga hari berikutnya. Beruntung perbekalan dan kebutuhan lainnya masih memadai. #Pelajaran7: Rencanakan perjalanan dari jauh hari. Karena persiapan yang matang adalah ciri sebuah perjalanan yang baik.
Hari keempat. Kesempatan terakhir kami menyaksikan sunrise. Dari ufuk timur, mentari pagi muncul dengan semburat cahaya kuning keemasan yang mulai memedar di kaki langit, indah sekali. Buaian mesra sang mentari terlihat keemasan berpadu dengan putih awan yang nampak bergerak dengan lembut. Sementara di bagian barat dan utara, bukit berundak-undak dengan pepohonan hijau akan memanjakan mata, di bawah sana juga nampak dataran luas yang mempesona. Kicauan burung serasa dekat memanggil kami. Sungguh suatu karunia yang sangat luar biasa boleh melihat pemandangan alam yang menggugah hati. #Pelajaran8: Jangan lupa membawa kamera dan stok baterai minimal satu buah. Tidak harus DSLR, kamera saku juga boleh. Momen indah ada disetiap saat. Ngga narsis hukumnya haram
Pukul 9.42 kami merapikan semua barang bawaan dan berdoa untuk pulang. Aku memejam mata. Merasakan sensasi aneh saat jemariku terus mengelus. Sensasi yang hanya berisi tiga kata, Tuhan Maha Besar. Perjalanan menuruni gunung ini agak terasa cukup lama karena harus menunggu pengunjung lain yang juga sedang turun. Beberapa malah dengan muka tanpa bersalah berfoto ditengah jalan sedangkan antrian turun dibelakang sudah cukup panjang. Jalan setapak yang masih dibaluti dengan tanah basah ini membuat tiap langkah harus ditempuh dengan hati-hati.
Seperti kata orang bijak, hidup bukanlah suatu tujuan. Hidup adalah suatu perjalanan. Kita semua menemui tikungan dan belokan yang tak terduga, puncak gunung serta lembah. Semua yang terjadi pada kita membentuk diri kita sekarang. Dan dalam petualangan setiap hari, kita menemukan kualitas terbaik di dalam kita. Terimakasih teruntuk rekan seperjalanan yang luar biasa Tina, Merry, Sintia, Limbong dan Antonio. Semoga dilain kesempatan kita bisa berjumpa lagi.
Ester Evinora
esterevinora@gmail.com