Lokasi : Perbukitan Menoreh - Magelang |
“.. Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena, dan laut menjadi tinta, ditambahkan kepadanya tujuh laut (lagi) sesudah (kering)nya, niscaya tak akan habis-habisnya (dituliskan) kalimat Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” [Luqman : 27]
Dari ayat tersebut dapatlah kamu merenungkan bahwa ilmu yang dipunyai dan diketahui manusia sangatlah sedikit. Sedangkan ilmu Allah sangat banyak sekali. Karenanya kita masih harus terus belajar dan belajar ilmu Allah itu. Jangan malas dan mengeluh, karena dengan belajar dan mengetahui banyak hal, kita bisa lebih merunduk dan mengerti betapa hebatnya Tuhan Pencipta Alam.
Akhir pekan yang menyenangkan sudah terlewati dengan kegiatan bersama alamNya. Aku dan seorang teman petualang beranjak menuju daerah barat Jogja. Awalnya, kami memilih puncak Suroluyo dan air terjun Sidoharjo sebagai titik destinasi.
Sekitar jam setengah delapan pagi, berputarlah roda petualangan ini menuju arah barat Jogja yang membuatku mengingat saat dimana kuinjakkan kakiku pertama kali di Kulon Progo, yaitu di Waduk Sermo. Sepanjang perjalanan, hanya kutatap pohon Glodokan (Polyalthia longifolia) yang berjajar rapi di sisi kanan jalan RingRoad Utara. Awan berarak seakan mengikuti kami menuju tempat destinasi. Langitpun menyambut perjalanan ini dengan birunya yang mendamaikan hati.
Deretan Glodokan kini tergantikan oleh kemunculan jarang dari tanaman suku Cassuarinaceae yang menarik diriku tuk memandang indah daunnya. Sekelompok Saccharum officinarum alias tebu, juga terlihat sedang berbunga indah. Seperti hamparan dandelion berwarna putih mengkilap yang dibelai oleh lembutnya angin siang.
Setelah pemandangan ladang tebu yang sedang dalam masa generatif, mata disuguhkan kembali oleh sawah yang dipenuhi oleh tanaman Oriza sativa berwarna kuning seperti ladang emas berkilauan terkena sinar matahari. Angin lembut kembali menyampaikan salam damai dari alam yang kini sedang menjadi kenikmatan.
Jalanan berlenggak lenggok. Rem dan gas silih berganti menciptakan sensasi pusing kepala karena terganggunya pusat keseimbangan tubuh. Sepanjang perjalanan, mata saling beradu dengan berbagai bentuk ciptaan. Mulut sedikit terbuka pertanda rasa kagum oleh ciptaaanNya yang begitu indah. Hutan heterogen di kanan dan kiri jalan menyejukkan mata yang telah seminggu penuh dikejar – kejar oleh topik perkuliahan dan deadline laporan yang mengharuskan jiwa muda ini hanya duduk diam di ruangan putih sambil menatap putihnya kertas bergaris di setiap malam menjelang.
Kini mata itu terobati oleh rimbun dan hijaunya aneka vegetasi khas perbukitan. Terlihat Tectona grandis (pohon jati) menyembul di antara flora lainnya. Terkadang, kan kamu dapati kehadiran Cocos nucifera (pohon kelapa) dan suku Palmae yang menambah semarak hijaunya hutan. Musa paradisiaca (pohon pisang) juga tak ketinggalan menampakkan indahnya buah yang menggelantung di sisi apikal batang tubuhnya.
Dari sela sela rimbunnya pepohonan yang sebagian besar tak kukenal namanya itu, nampak daun Dipterocarpus (keruing) yang khas seperti kipas menarikku tuk menyapanya. Albizia chinensis alias pohon sengon, Bambusa maculate alias bambu dan Ficus sp. alias beringin juga sering ditemukan di salah satu sisi jalan menuju puncak. Hutan, jurang, tebing menjulang, jembatan, sungai kering, dan pemukiman warga dengan banyak sekali Canis sp., telah terlewati dengan susah payah karena harus disasarkan dahulu oleh Tuhan, agar kita bisa menikmati berbagai macam flora fauna di sepanjang jalan.
Di sekitar pemukiman warga mendekati puncak, banyak tanaman bunga tumbuh dan bermekaran, seperti Hibiscus rosa-sinensis alias bunga sepatu merah, Tagetes erecta alias bunga tahi kotok kuning, Bougainvillea spectabilis alias bunga bougenvil aneka warna sepal, Stachytarpheta jamaicensis alias bunga pecut kuda ungu, Euphorbia milii alias bunga euphorbia merah, Allamanda cathartica alias bunga alamanda kuning, dan anggota Orchidaceae tanah yang belum kuketahui nama spesiesnya.
Di tengah perjalanan, kami mendapat keberuntungan bertemu dengan burung cekakak jawa. Salah satu anggota ordo Coraciiformes ini melintas di atas kepala dengan warna tubuh yang membuat mata terpaksa mencari wujudnya. Coklat di kepala dan leher, biru tua di ventral tubuhnya, dan biru terang di kedua kepakan sayapnya ditambah dengan merah paruhnya yang besar, panjang, dan kuat itu mampu membuat kami berhenti sejenak mengamati keindahan parasnya.
Lokasi : Perbukitan Menoreh - Magelang |
Perjalanan terus dilanjutkan dan sampailah kami di lokasi destinasi yang ternyata hanyalah beberapa bukit yang di atasnya sudah dibangun beberapa gardu pandang. Cara mencapainya hanyalah dengan menaiki tangga demi tangga seperti halnya wisata makam raja Imogiri. Ekspektasiku selama ini ternyata berlebihan. Aku mengira untuk mencapai puncaknya kita harus trekking terlebih dahulu seperti halnya Golden Sunrise di bukit Sikunir – Dieng, nyatanya hanyalah seperti Gardu Pandang biasa dengan anak anak tangga yang tak terlalu panjang. Namun keindahan alam dari atas sana, tak bisa terwakilkan oleh kata kata. Kamu dapat melihat indahnya gunung Merapi yang gagah dan gunung Merbabu di belakangnya. Bukit bukit nan hijau nampak di landscape pandangan mata. Angin berhembus lembut membelai wajah yang lelah dengan rutinitas dunia. Perpaduan yang sungguh mempesona.
Sesampainya di tempat, kami mengeluarkan senjata [plastik] dan mata ketiga [kamera]. Tidak langsung menuju titik destinasi, terlebih dahulu kami meng-eksplor tempat ini yang ternyata banyaaaaak sekali spesies kupu-kupu yang indah. Selain ordo Lepidoptera dan familia Nymphalidae – Papillionidae, juga ada banyak jenis ngengat warna warni sehingga tak henti mata ketiga itu memotret indahnya.
Kupu- kupu kuning yang selalu berdua kemanapun mereka pergi membuatku iri melihat diri ini yang masih sendiri. Kehadirannya adalah yang paling banyak di sini. Warna sayap yang kuning itu adalah ciri khas genus Eurema ini. Tak bosan mata menikmati setiap kepakan sayapnya yang menjauhi manusia yang mendekati.
Orthetrum sabina (capung hijau) sesekali melintas disana sini. Suku Odonata dan familia Lubellulidae itu menarikku untuk menyentuh tubuhnya yang seperti helicopter, namun sayang tak ada jaring serangga. Orthoptera nampak berloncatan di rumput – rumput yang basah. Ada belalang hijau/ Atractomorpha crenulata, belalang biru/ Kosciuscola tristis, belalang coklat/ Melanoplus differentialis, belalang sembah/ Manthis religiosa, dan belalang kayu/ Valanga nigricornis. Familia Acrididae ini sangat banyak ditemukan di puncak Suroluyo pertama. Dan beruntungnya lagi kami bertemu larva Lepidoptera alias ulat bulu coklat yang sedang lihai bergerak di tanah kering. Mungkin dia sedang mencari pohon untuk dijadikan tempat menggantungkan diri menjadi pupa. Tampak juga ngengat juvenile bertengger di atas ibu tulang daun yang belum kutahu apa itu namanya.
Tak hanya kelompok insecta yang menyambut kedatangan kami, kelompok Apodiformes tampak melayang terbang memutari udara. Siapa lagi kalau bukan burung Walet. Tubuhnya hitam dengan rentangan sayap yang panjang, ekor terbelah, dan kaki yang sangat pendek menjadikannya masuk familia Apodidae yang berarti burung tanpa kaki.
Lokasi : Perbukitan Menoreh - Magelang |
Tangga demi anak tangga kami naiki, sembari sejenak menikmati hembusan angin sejuk menerpa wajah yang penuh dengan peluh. Fabaceae dan Cyperaceae ramah menyapa kami yang tampak lelah di gardu pandang pertama. Potret alam dan diri sendiri menjadikan dokumentasi penting bahwa ada jejak langkah kaki kita disini. Sekitar 20 menit, kami akhirnya melanjutkan petualangan menuju gardu pandang kedua yang tampak lebih tinggi dari yang pertama.
Benar saja, di sini banyak sekali Nymphalidae dan Papillionidae terbang dan hinggap di bunga Stachytarpheta jamaicensis (bunga pecut kuda) yang berderet di tepi anak tangga. Benar benar menyenangkan. Di gardu pandang kedua ini juga ditemui banyak Mabuya multifasciata alias kadal. Dari yang kecil, sedang, hingga besar. Sesekali kami menangkapnya, memegang tubuh yang dipenuhi sisik lembut dengan sensasi jantung yang berdetak. Satu kegelianku sudah teruji dan nyatanya binatang ini lucu dan jinak sekali.
Petualangan kali ini sampai disini dulu. Karena hari sudah beranjak sore, rencana berkunjung ke air terjun Sidoharjo – Samigaluh tak jadi terlaksana, mungkin di lain waktu dengan perlengkapan sampling yang lebih lengkap [kertas papillot, botol flakon, killing bottle, plastic bening, dan tentunya jaring penangkap serangga]. Di perjalanan pulang ke Jogja, kami bertemu lagi dengan burung Cekakak Jawa yang kali ini terbang dengan membawa mangsa di paruhnya yang merah. Kami juga bertemu dengan burung Kuntul yang sedang bermain main di sawah manusia. Benar benar hari yang menyenangkan bersama hewan, tumbuhan, dan indahnya pemandangan.
tulisan dari Cici Suci Maulina