Perubahan iklim dan berbagai faktor lainnya seperti kerusakan lingkungan bisa membuat terumbu karang stres, bahkan mati. Para peneliti telah berupaya mengembangkan cara untuk memonitor kondisi kesehatan hewan laut yang menjadi habitat bagi hewan laut lainnya ini.
Cara paling baru yang ditemukan yakni memonitor tingkat pendaran cahaya fluoresen yang dikeluarkan oleh hewan tersebut. Tim peneliti biologi kelautan dari Scripps Institution of Oceanography di UC San Diego yang menemukan cara tersebut.
Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan oleh tim pada spesies Acropora yongei di kawasan Indo-Pasific, tim menemukan bahwa tingkat pendaran cahaya fluoresens dan kadar protein fluoresens pada terumbu karang itu ternyata dipengaruhi oleh suhu lingkungan.
Lingkungan dengan suhu yang terlalu tinggi atau rendah membuat terumbu karang stres. Berdasarkan hasil studi, kondisi stres pada spesies tersebut ditandai dengan penurunan tingkat pendaran cahaya.
Jika suhu lebih dingin, terumbu karang terbukti bisa beradaptasi. Pada saat lingkungan kembali normal, spesies Acropora yongei mampu mengembalikan tingkat pendarannya. Namun, tak demikian bila suhu memanas.
Mellisa Roth, anggota tim peneliti yang kini bekerja di Lawrence Berkeley National Laboratory dan UC Berkeley, menjelaskan, Acropora yongei adalah spesies yang sensitif dengan perubahan dan mudah mengalami pemutihan.
"Menjadi alasan yang kuat untuk memantau spesies koral yang paling sensitif sebagai indikator kondisi terumbu karang secara keseluruhan," ujar Roth seperti dikutip Livescience pada Jumat (15/3/2013).
Dengan temuan ini, Upaya pemantauannya pun menjadi lebih mudah. Peneliti tidak perlu 'mengganggu' koral untuk mengetahui kondisi koral tersebut, bisa dilakukan langsung di lokasi tempat koral itu hidup. Hasil penelitian ini dipublikasikan di Journal Scientific Reports, Selasa (12/3/2013).